Abu Krueng Kalee


Dari latar belakang sejarah keluarga yang agamis dan pejuang lahirlah Muhammad Hasan kecil disebuah negeri pengungsian, ditengah berkobarnya perang fii sabilillah, dibesarkan dan dididik dalam gemerincing mata pedang serta letusan-letusan bedil dan meriam, sehingga remaja dan dewasa menjadi seorang Ulama kharismatik yang sangat dihormati dan disegani, karena memegang teguh prinsip-prinsip Islam dengan penuh keyakinan dan keikhlasan.

Secara lengkap nama Muhammad Hasan kecil Adalah Tgk. H. Muhammad Hasan bin Tgk. H. Syech Muhammad Hanafiah bin Tgk. Syech Abbas bin Tgk Syech Muhammad Fadhil bin Syech Abdurrahman yang bergelar Tgk. Ja Meulaboh (Tgk. Di Kubu) bin Faisal bin Ramah bin Al La’badah, bin Al Hauraani Ibnu as Sab’ah yang dikenal dengan Tgk. Syiah Tujoeh, Tgk. Syiah ini adalah nama seorang Ulama bangsa Arab yang datang ke Aceh lebih kurang tahun 1564-1568M, Ia adalah salah seorang anggota utusan dari 40 orang yang dikirim Sulthan Turki ke Aceh bersama 200 pucuk meriam tembaga, seperti diungkapkan Muhammad Sa’id dalam bukunya berjudul Aceh sepanjang abad. Hauran adalah nama sebuah daerah di kawasan Syam, Syiria. Sedangkan Ibnu Sab’ah adalah nama suku atau kabilah Arab yang berpindah-pindah mengembara, salah satu keturunan mereka ada yang menetap di Hauran, Syiria, dan ada juga yang kemudian menetap di Fayyoum, Mesir. Sebagai dipaparkan dalam kitab Qabail al ‘Arab.

Abu Muhammad Hasan Krueng Kalee adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Tgk. H. Muhammad Hanafiah (Tgk. H. Muda) dengan Nyakti Hafsah binti Syech Isma’il, Abu Hasan Krueng Kalee mempunyai saudara laki-laki namanya Abdul Wahab, dan seorang saudari perempuan bernama Asiah, keduanya tidak mempunyai keturunan karena sudah meninggal dunia sebelum sempat berkeluarga.

Adik Abu Hasan Krueng Kalee bernama Syech Abdul Wahab sejak kecil telah memiliki kelebihan supranatural yang tinggi, dalam istilah agama lebih dikenal dengan sebutan irhash, kelebihan itu antara lain dapat membaca kejadian-kejadian seperti kehilangan barang dan benda-benda berharga akibat pencurian (dalam istilah Aceh dikenal dengan keumalon), dan mengobati orang sakit.

Ahmad Syauqi seorang penyair Arab berkata Ibu adalah sekolah pertama, ungkapan ini juga berlaku pada riwayat pendidikan Abu Hasan Krueng Kalee, Ibunya, Nyakti Hafsah binti Syech Isma’il Krueng Kalee adalah guru pertamanya dalam kehidupan ini dalam arti yang sebenarnya. Meski hidup dipengungsian di Langgoe meunasah Keutumbu, Pidie, kampung suaminya namun Ia masih menyempatkan diri untuk mengajar mengaji Al Quran, praktek Ibadah praktis dan hafalan nadham Aceh berisikan sifat dua puluh dan rukun-rukun sembahyang bagi anak-anaknya serta anak warga sekitar. Tidak diketahui kapan ayah Abu Hasan Krueng Kalee (Tgk. H. Muda) syahid, namun dipastikan ketika itu Abu Hasan Krueng Kalee beserta adik-adiknya masih kecil, oleh karenanya tidak dapat dipastikan pula apakah Abu Hasan Krueng Kalee pernah berguru dengan ayahnya secara langsung. Apalagi mengingat ayahnya sering tidak berada dirumah karena bergelirya bersama mujahidin lain melawan penjajahan Belanda.

Setelah belajar pada Tgk. Chiek di Keubok Siem, Aceh Besar dan Tgk. Chiek di Lamnyong Abu Hasan Krueng Kalee melanjutkan pendidikannya di Yan, Keudah, Malaysia. Sehingga beliau juga terkenal dengan panggilan Abu di Yan, nisbah kepada tempat belajarnya. Tidak diketahui pasti kapan pertama beliau meninggalkan Aceh belajar disana. Namun hasil reka sejarah tim penulis buku Teungku Haji Muhammad Hasan Krung Kalee ulama besar dan guru umat memperkirakan sekitar tahun 1905-1906M ketika beliau berumur 19-20 tahun. Abu Hasan Krueng Kalee termasuk murid pertama disana bersama Abu Hasballah Indrapuri, Ia menetap disana hingga berumur 23 tahun.

Dengan mendapatkan restu dari gurunya di Yan, Keudah, Malaysia, yaitu Tgk. Muhammad Arsyad yang berasal dari Kembang Tanjong, Pidie, pada tahun 1909M, tepatnya pada umur 23 tahun, Abu Hasan Krueng Kalee bersama adiknya Tgk. Syech Abdul Wahab menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekkah, serta bermaksud melanjutkan pendidikannya di Masjidil Haram. Ditahun yang sama guru tempat belajar qiraatnya di Malaysia meninggal dunia, yaitu Syech Umar Lam U, yang merupakan ayah dari teman seperguruannya di Yan, keudah, Malaysia. yaitu Abu Hasballah Indrapuri, shabat seperguruan Abu Hasan Krueng Kalee di Yan yang lain adalah Abu Muhammad Ali (Abu Lam Pisang), Abu Muhammad Amin Kampung Are, Pidie , Abu Ahmad Bung Kiwing. Gurunya itu kemudian dikebumikan dikampung Setol bersebelahan dengan kampung Aceh, Yan, Keudah, Malaysia.

Sebelum berangkat ke Mekkah, Ia sempat pulang ke Aceh untuk berpamitan pada keluarganya. Kepulangannya juga bertujuan untuk mengajak adiknya Tgk. Abdul Wahab ikut serta bersama-sama. Mulanya Tgk. Abdul Wahab menolak ikut, namun setelah dipaksa abangnya akhirnya ia turut serta dalam perjalanan tersebut, namun takdir tak dapat ditolak, enam bulan setibanya di Mekkah adiknya meninggal dunia karena sakit. Abu Hasan Kreung Kalee sendiri tetap tinggal disana, memperdalam dan mentahqiq ilmu dari berbagai Ulama besar dan Masyayikh terkenal di Mekkah kala itu.

Diantara guru-gurunya selama berada di Mekkah ialah, Syech Said Al Yamani Umar bin Fadil, Syech Khalifah, Syech Said Ahmad bin Said Abi Bakar al Syattar Ad Dimyaty, Syech Abdullah Isma’il, Syech Hasan Zamzami, Syech Abdul Maniem dan Syech Yusuf An Nabhany.

Beliau menetap di Mekkah selama tujuh tahun (1909-1916M), disamping belajar ilmu-ilmu keislaman yang lazim dipelajari, Ia juga belajar qiraat dan Ilmu Falak (Astronomi). Dalam mempelajari Ilmu Falakiyah, beliau memiliki alat yang dikenal dengan rubu’al mujayyab (seperempat bundaran dunia), suatu alat ukur sederana dalam ilmu astronomi untuk mencari berbagai ukuran, seperti ukuran tinggi, jauh dan sebagainya. Beliau juga menguasai ilmu Handasatul Mutsallastaat (teknik ukur sudut). Beliau mempelajari itu semua pada mantan pensiunan Jensderal Turki Usmani yang telah bermukim di Mekkah ketika itu.

Ketika itu tidak banyak Ulama Nusantara dan Malayu yang belajar di Masjidil Haram yang mengambil spesialisasi dalam bidang ilmu Falak. Diantara yang sedikit itu adalah Abu Hasan Krueng Kalee dan Syech Jamil Jaho dari Padang. Sehingga nama beliau ketika di Mekkah sudah terkenal dengan sebutan Syech Muhammad Hasan Al Asyie al Falaky. Sebagai bentuk pengakuan atas penguasaannya terhadap ilmu Falak.

Dalam Ilmu Falak beliau menganut faham bahwa bulan kurang 6 derjat pada waktu berselisih dengan matahari terbenam tidak bisa dilihat. Meski ada pandangan yang mengatakan bisa terlihat bahkan dibawah 5 derjat, tetapi menurutnya itu bukan “rukyatul hilal” yang disuruh dalam Hadist. Bulan mungkin memang ada, tetapi dibawah 6 derjat tidak dapat dipandang dengan mata telanjang, sebab bulan terlalu kecil, dan bulan akan hilang dalam pancaran sinar matahari yang sedang terbenam. Sebab rukyah yang dimaksud adalah dengan mata, bukan dengan alat. Menurutnya ini adalah fighul falak (memahami ilmu falak atas dasar ilmu fikih), dan bukan sekedar mengerti ilmu falak.

Ilmunya ternyata sangat berguna ketika sampai di Aceh. Untuk menghindari konflik dalam penentuan awal puasa Ramadhan dan awal Syawal, setiap tahun beliau megeluarkan imsakiah pribadi dengan standar jam kereta api. Imsakiah tersebut kemudian dijadikan rujukan oleh mayoritas ummat Muslim Aceh kala itu. Bahkan hasil hisabnya diakaui pemerintah Belanda sebagai penentu resmi awal puasa di Aceh dimasa penjajahan.

Suatu ketika, seorang konteler (ahli ukur/hitung) Belanda yang ingin menguji kehebatan Abu Hasan Krueng kalee dalam ilmu falakiahnya dan ukur sudut datang menjumpai Abu di Dayah meunasah Blang. Sambil minum air kelapa, konteler itu bertanya kepada Abu Krung Kalee berapa tinggi gunung yang terlihat jelas dari Dayah. Setelah berfikir sejenak, beliau langsung menjawab dengan benar dan diakui oleh konteler Belanda tersebut.

Menurut pengakuan Tgk. Syech Marhaban, murid juga anak kandung Abu Hasan Krueng kalee, bahwa Abunya menguasai berbagai cabang ilmu keislaman, terutama fiqh dengan spesialis fiqh Imam Syafi’I RA. Beliau telah belajar dan mengajarkan kitab I’anatutdh Thalibin lebih 40 kali, kitab Al Mahally dan Fath Al Wahhab lebih dari 20 kali. Sebab ketika Abu berada di Yan, Abu sudah mulai aktif belajar dan mengajar. Selain dari itu, Abu juga ahli di bidang Ilmu Faraidh (Pembahagian harta warisan), sehingga sangat sering orang berdatangan padanya untuk meminta supaya dibagikan faraidhnya. Beliau juga sangat bersemangat dalam mengajar Tafsir Al Quran. Suara Abu jelas terdengar dari atas balai tempat beliau mengajar, ayat Al Quran dan Hadist keluar dari mulutnya seperti air mengalir. Abu juga menguasai Ilmu Sejarah Islam, umum dan dunia. Selain penguasaannya dalam kajian sirah nabawiyah beliau juga ahli dibidang gramatika bahasa arab serta usul fiqh dan ilmu dhawabitul maslahah wal mafsadah dan thabaqat al Ulama.

Selain mendalami ilmu falakiah serta ilmu-ilmu agama, semasa belajar di Mekkah, Abu Muhammad Hasan Krueng Kalee juga memberi perhatian khusus dalam bidang ilmu Tasawuf demi tercapainya keseimabangan antara ilmu teori dan pengalaman spritual dalam jiwa seorang muslim. Hal ini sesuai dengan ucapan Imam Malik RA “ orang yang berfiqih namun tidak bertasawuf, maka ia termasuk dalam golongan fasik. Sementara orang yang hanya bertasawuf tanpa mendalami fiqh, maka ia termasuk dalam golongan zindiq”.

Untuk maksud itu Abu Hasan Krueng Kalee telah memilih satu thariqat yang sesuai dengan jiwanya yaitu thariqat Al Haddadiyah. Thariqat ini dipelajari dan diambil ijazahnya dari guru beliau Al Murabbi Al Mursyid Al ‘Alim Al ‘Allamah Sayid Ahmad bin Sayid Abi Bakar Al Syattar, yang bersambung sanadnya hingga kepada Quthb Al Irsyad Al Habib Abdullah Al Haddad Al Hadhramy Al Turaimy Radiallahu ‘anhu sampai kepada baginda Rasulullah SAW. Sebagaimana ia juga mengambil ijazah dalam thariqat membaca kitab Dalail Khairat dari gurunya Syech Abdullah Isma’il dan Syech Hasan Zamzami di Mekkah Al Mukarramah pada Tahun 1330H bertepatan pada tahun 1912M.

Oleh: Tgk. Zulfahmi Aron ( Ketua Departemen Kesektariatan dan Adminitrasi Himpunan Ulama Dayah Aceh )