Sunan Kalijaga

1. Asal Usul Sunan Kalijaga
Sudah banyak orang tahu bahwa Sunan Kalijaga itu aslinya bernama Raden Said.

Putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikt a. Tumenggung Wilatikta seringkali disebut
Raden Sahur, walau dia termasuk keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu tapi Raden
Sahur sendiri sudah masuk agama Islam.

Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan ke pada agama Islam oleh guru agama Kadipaten
Tuban. Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau lingkung an yang kontradiksi dengan
kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak. Gelora jiwa muda Raden said seakan
meledak-ledak manakala melihat praktek oknum pejabat Kadipaten Tuban di saat menarik
pajak pada penduduk atau rakyat jelata.

Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita dikarenakan adanya musim kemarau
panjang, semakin sengsara, mereka harus membayar pajak yang kadangkala tidak sesuai
dengan ketentuan yang ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka
untuk persediaan menghadapi musim panen berikutnya sudah disita para penarik pajak. Raden
Said yang mengetahui hal itu pernah mengajuk an pertanyaan yang mengganjal di hatinya.
Suatu hari dia menghadap ayahandanya.

“Rama Adipati, rakyat tahun ini sudah semakin sengsara karena panen banyak yang gagal,”
kata Raden Said. “Mengapa pundak mereka masih harus dibebani dengan pajak yang mencekik
leher mereka. Apakah hati nurani Rama tidak merasa kasihan atas penderitaan mereka ?”

Adipati Wilatikta menatap tajam kea rah putranya. Sesaat kemudian dia menghela nafas
panjang dan kemudian mengeluarkan suara, “S aid anakku ..... saat ini pemerintah pusat
Majapahit sedang membutuhkan dana yang sangat besar untuk melangsungkan roda
pemerintahan. Aku ini hanyalah seorang bawahan sang Prabu, apa dayaku menolak tugas yang
dibebankan kepadaku. Bukan hanya Kadipaten Tuban yang diwajibkan membayar upeti lebih
banyak dari tahun-tahun yang lalu. Kadipaten lainnya juga mendapat tugas serupa.”

“Tapi …… mengapa harus rakyat yang jadi korban.” Sahut Raden Said. Tapi Raden Said tak
meneruskan ucapannya. Dilihatnya saat itu wajah ayahnya berubah menjadi merah padam
pertanda hatinya sedang tersin ggung atau naik pitam. Baru kali ini Raden Said membuat
ayahnya marah. Hal yang selama hiduptak pernah dilakukannya.

Raden Said tahu diri. Sambil bersungut-sungut dia merunduk dan mengundurkan diri dari
hadapan ayahnya yang sedang marah.

Ya, Raden Said tak perlu melanjutkan pertanyaan. Sebab dia sudah dapat menjawabnya
sendiri. Majapahit sedang membutuhkan dana besar karena negeri itu sering menghadapi
kekacauan, baik memadamkan pemberontakan maupun terjadinya perang saudara.

Walau Raden Said putra seorang bangsawan dia lebih menyukai kehidupan yang bebas, yang
tidak terikat oleh adapt istiadat kebangsawanan. Dia gemar bergaul dengan rakyat jelata atau
dengan segala lapisan masyarakat, dari yang pa ling bawah hingga yang paling atas. Justru
karena pergaulannya yang supel itulah dia bany ak mengetahui selukbeluk kehidupan rakyat
Tuban. Niat untuk mengurangi penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya. Tapi
agaknya ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia cukup memahaminya pula posisi ayahnya sebagai
adipati bawahan Majapahit. Tapi niat itu tak pernah padam.

Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di dalam kamarnya sembari
mengumandangkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, maka sekarang dia keluar rumah.

Di saat penjaga gudang Kadipaten tertidur lela p, Raden Said mengambil sebagian hasil bumi
yang ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke Majapahit. Bahan makan itu dibagi-bagikan kepada
rakyat yang sangat membutuhkannya.

Tentu saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu me njadi kaget bercampur girang menerima rezeki
yang tak diduga-duga. Walau mereka tak pernah tahu siapa gerangan yang memberikan rezeki
itu, sebabnya Raden Said melakukannya di malam hari secara sembunyi-sembunyi.
 
Bukan hanya rakyat yang terkejut atas rezeki yang seakan turun dari langit itu. Penjaga gudang
Kadipaten juga merasa kaget, hatinya kebat-ke bit, soalnya makin hari barangbarang yang
hendak disetorkan ke pusat kerajaan Majapahit itu makin berkurang.

Ia ingin mengetahui siapakah pencuri barang ha sil bumi di dalam gudang itu. Suatu malam ia
sengaja sengaja mengintip dari kejauhan, dari balik sebuah rumah, tak jauh dari gudang
Kadipaten.

Dugaannya benar, ada seseorang membuka pintu gudang, hampir tak berkedip penjaga gudang
itu memperhatikan, pencuri itu. Dia hampir tak percaya, pencuri itu adalah Raden Said, putra
junjungannya sendiri.

Untuk melaporkannya sendiri kepada Adipati Wilatikta ia tak berani. Kuatir dianggap membuat
fitnah. Maka penjaga gudang itu hanya minta dua orang saksi dari sang Adipati untuk
memergoki pencuri yang mengambil hasil bumi rakyat yang tersimpan di gudang.

Raden Said tak pernah menyangka bahwa malam itu perbuatannya bakal ketahuan. Ketika ia
hendak keluar dari gudang sambil membawa bahan-bahan makanan, tiga orang prajurid
Kadipaten menangkapnya beserta barang bukti yang dibawanya. Raden Said dibawa kehadapan
ayahnya.

“Sungguh memalukan sekali perbuatanmu itu !” hardik Adipati Wilatikta. “Kurang apakah aku
ini, benarkah aku tak menjamin kehidupanmu di istana Kadipaten ini ?

Apakah aku pernah melarangnya untuk makan seke nyang-kenyangnya di Istana ini ? Atau aku
tidak pernah memberimu pakaian ? Mengap a kau lakukan perbuatan tecela itu ?”

Raden Said tidak mengeluarkan suara. Biarlah, bisik hatinya. Biarlah orang tak pernah tahu
untuk apa barang-barang yang tersimpan di gudang Kadipaten itu kuambil. Biarlah ayahku tak
pernah tahu kepada siapa barang-barang itu kuberikan. Adipati Wilatikta semakin marah
melihat sikap anaknya itu. Raden Said tidak menjawabnya untuk apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi yang hendak disetorkan ke Majapahit itu.

Tapi untuk itu Raden Said harus mendapat hukuman, karena kejahatan mencuri itu baru
pertama kali dilakukannya maka dia hanya mendapat hukuman cambuk dua ratus kali pada
tangannya. Kemudian disekap selama beberapa hari, tak boleh keluar rumah.

Jerakah Raden Said atas hukuman yang sudah diterimanya ? Sesudah keluar dari hukuman dia
benar-benar keluar dari lingkungan istana. Tak pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan
adiknya. Apa yang dilakukan Raden Said selanjutnya ?

Dia mengenakan topeng khusus, berpakaian serba hitam dan kemudian merampok harta orang-orang kaya di kabupaten Tuban. Terutama oran g kaya yang pelit dan para pejabat Kadipaten
yang curang. Harta hasil rampokan itupun dibe rikannya kepada fakir miskin dan orang-orang
yang menderita lainnya. Tapi ke tika perbuatannya ini mencapai titik jenuh ada saja orang yang
bermaksud mencelakakannya.

Ada seorang pemimpin perampok sejati yang mengetahui aksi Raden Said menjarah harta
pejabat kaya, kemudian pemimpin rampok itu mengenakan pakaian serupa dengan pakaian
Raden Said, bahkan juga mengenakan topeng seperti topeng Raden Said juga.

Pada suatu malam, Raden Said yang baru saja menyelesaikan shalat Isyá mendengar jerit tangis
para penduduk desa yang kampungnya sedang dijarah perampok. Dia segera mendatangi
tempat kejadian itu. Begitu mengetahui kedatangan Raden
Said, kawanan perampok itu segera berhamburan melarikan diri. Tinggal pemimpin mereka
yang sedang asyik memperkosa seorang gadis cantik. Raden Said mendobrak pintu rumah si
gadis yang sedang diperkosa. Di dalam sebuah kamar dia melihat seseorang berpakaian seperti
dirinya, juga mengenakan topeng serupa sedang berusaha mengenakan pakaiannya kembali.
Rupanya dia sudah selesai memperkosa gadis itu.

Raden Said berusaha menangkap perampok itu. Namun pemimpin rampok itu berhasil melarikan
diri. Mendadak terdengar suara kentongan di pukul bertalu-talu, penduduk dari kampung lain
berdatangan ke tempat itu. Pada saat itulah si gadis yang baru diperkosa perampok tadi
menghamburkan diri dan menangkap erat-erat tangan Raden Said. Raden Said pun jadi panik
dan kebingungan. Para pemuda dari kampung lain menerobos masuk dengan senjata terhunus.
Raden Said ditangkap dan dibawa ke rumah kepala desa.

Kepala desa yang merasa penasaran mencoba membuka topeng di wajah Raden Said. Begitu
mengetahui siapa orang dibalik topeng itu sang kepala desa jadi terbungkam. Sama sekali tak
disangkanya bahwa perampok itu adalah putra j unjungannya sendiri yaitu Raden Said. Gegerlah
masyarakat pada saat itu. Raden Said diangg ap perampok dan pemerkosa. Si gadis yang
diperkosa adalah bukti kuat dan saksi hidup atas kejadian itu. Sang kepa la desa masih berusaha
menutup aib junjungannya. Diam-diam ia membawa Raden Said ke istana Kadipaten Tuban

tanpa diketahui orang banyak. Tentu saja sang Adipati menjadi murka. Sang Adipati yang
selama ini selalu merasa sayang dan selalu membela anaknya kali ini juga naik pitam. Raden
Said diusir dari wila yah Kadipaten Tuban.

“Pergi dari Kadipaten Tuban ini !” kau telah me ncoreng nama baik keluargamu sendiri ! pergi !
jangan kembali sebelum kau dapat menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten Tuban ini
dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang se ring kau baca di malam hari !”

Sang Adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas kejadian itu. Raden Said yang diharapkan
dapat menggantikan kedudukannya selaku Adipati Tuban ternyata telah menutup kemungkinan
ke arah itu. Sirna sudah segala harapan sang adipati. Hanya ada satu orang yang tak dapat
mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden said. Raden Said itu
berjiwa bersih luhur dan sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Hati siapa yang
takkan hancur mengalami peristiwa seperti ini. Raden Said bermaksud menolong fakir miskin
dan penduduk yang menderita tapi akibatnya ju stru dia sendiri yang harus menelan derita.
Diusir dari Ka dipaten Tuban.

Orang tua mana yang tak terpukul batinnya meng etahui anak dambaan hati tiba-tiba berbuat
jahat dan menghancurkan nama dan masa depannya sendiri. Ta pi itulah peristiwa yang memang
harus dialami oleh Raden Said. Seandainya tidak ada fitnah seperti itu, barangkali Raden Said
tidak bakal menjadi seorang ulama besar, seoran g Wali yang dikagumi oleh seluruh penduduk
Tanah Jawa. Raden Said betul-betul meninggalkan Kadipaten Tuban.

Dewi Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya itu merasa kasihan, tanpa sepengetahuan
ayah dan ibunya dia meninggalkan istana Ka dipaten Tuban untuk mencari Raden Said untuk
diajak pulang. Tentu saja sang ayah dan ibu kelabakan mengetahui hal ini. Segera saja
diperintahkan puluhan prajurit Tuban untuk mencari Dewi Rasawulan tak
pernah ditemukan oleh mereka.

Di dalam Babad Tanah Jawa diki sahkan bahwa Dewi Rasawulan pada akhirnya telah ditemukan
oleh Empu Supa, seorang Tumenggung Majapahi t yang menjadi murid Sunan Kalijaga. Dewi
Rasawulan kemudian dijodohkan dengan Empu Supa. Dan kembali ke Tuban bersama-sama
dengan diantar Sunan Kalijaga yang tak lain adalah Raden Said sendiri.

2. Masa Penggemblengan Diri

Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari Kadi paten Tuban ? Ternyata ia mengembara tanpa
tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap di hutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun dia
menjadi perampok budiman. Mengapa disebut perampok budiman ?

Karena hasil rampokannya itu tak pernah dima kannya. Seperti dulu, selalu diberikan kepada
fakir miskin. Yang dirampoknya hanya para ha rtawan atau orang kaya yang kikir, tidak
menyantuni rakyat jelata, dan tidak mau membayar zakat. Di hutan Ja tiwangi dia membuang
nama aslinya. Orang menyebutnya sebagai Brandal Lokajaya.

Pada suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat di hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal
Lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu membawa sebatang tongkat yang gagangnya
berkilauan.

“Pasti gagang tongkat itu terb uat dari emas,” bisik Brandal Lokajaya dalam hati. Terus
diawasinya orang tua berjubah putih itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya sembari
berkata, “Orang tua, apa kau pakai tongkat ? Tampaknya kau tidak buta, sepasang matamu
masih awas dan kau juga masih kelihatan tegar, kuat berjalan tanpa tongkat !”

Lelaki berjubah putih itu tersenyum, wajahnya ramah, dengan suara lembut dia berkata, “Anak
muda ………. Perjalanan hidup manusia itu tidak menentu, kadang berada di tempat terang,
kadang berada di tempat gelap, dengan tongkat ini aku tidak akan tersesat bila berjalan dalam
kegelapan.”

“Tapi .......... saat ini hari masih siang, tanpa tongkat saya kira kau tidak akan tersesat
berjalan di hutan ini.” Sahut Raden Said. Kembali lelaki berjubah putih itu tersenyum arif,
“anak muda ………. Perjalanan hidup manusia itu tidak menentu, kadang berada di tempat
terang, kadang berada di tempat gelap, dengan tongkat ini aku tidak akan tersesat
bila berjalan dalam kegelapan.”

“Tetapi .......... saat ini hari masih siang, tanpa tongkat saya kira kau tidak akan tersesat
berjalan di hutan ini.” Sahut Radeb Said. Kembali lelaki berjubah putih itu tersenyum arif,
“Anak muda tongkat adalah pegangan, orang hidup haruslah mempunyai pegangan supaya tidak
tersesat dalam menempuh perjalanan hidupnya.”

Agaknya jawab-jawab yang mengandung filosofi itu tak menggugah hati Raden Said. Dia
mendengar dan mengakui kebenarannya tapi perhatiannya terlanjur tertumpah kepada gagang

tongkat lelaki berjubah putih itu. Tanpa banyak bicara lagi direbutnya tongkat itu dari tangan
lelaki berjubah putih. Karena tongka t itu dicabut dengan paksa maka orang
berjubah putih itu jatuh tersungkur.

Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau tak ada suara
tangis dari mulutnya. Raden Said pada saat itu sedang mengamat-amati gagang tongkat yang
dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari
kuningan sehingga berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti emas. Raden Said heran
melihat orang itu menangis. Segera diulurkannya kembali tongkat itu, “Jangan menangis, ini
tongkatmu kukembalikan.”

“Bukan tongkat ini yang kutangisi,” Ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang
rumput di telapak tangannya. “Lihatlah ! Aku telah berbuat dosa, berbuat kesiasiaan. Rumput
ini tercabut ketika aku aku jatuh tersungkur tadi.”

“Hanya beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa ?” Tanya Raden Said heran.

“Ya, memang berdosa ! Karena kau mencabutnya tanpa suatu keperluan. Andaikata guna
makanan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk suatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa !”
Jawab lelaki itu.

Hati Raden Said agak tergetar atas ja waban yang mengandung nilai iman itu.

“Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di hutan ini ?”

“Saya mengintai harta ?”

“Untuk apa ?”

“Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita.”

“Hemm, sungguh mulia hatimu, sayang ...... caramu mendapatkannya yang keliru.”

“Orang tua .......... apa maksudmu ?”

“Boleh aku bertanya anak muda ?”

“Silahkan .......... “

“Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar ?”

“Sungguh perbuatan bodoh,” sahut Raden Said. “Hanya manambah kotor dan bau pakaian itu
saja.”

Lelaki itu tersenyum, “Demikian pula amal yang kau lakukan. Kau bersedekah dengan barang
yang di dapat secara haram, merampok atau me ncuri, itu sama halnya mencuci pakaian dengan
air kencing.”

Raden Said tercekat.

Lelaki itu melanjutkan ucapannya, “Allah itu adal ah zat yang baik, hanya menerima amal dari
barang yang baik atau halal.”Raden Said maki n tercengang mendengar keterangan itu. Rasa
malu mulai menghujam tubuh hatinya. Betapa keliru perbuatannya selama ini. Di pandangnya
sekali lagi wajah lelaki berj ubah putih itu. Agung dan berwibawa namun mencerminkan pribadi
yang welas asih. Dia mulai suka dan tertarik pada lelaki berjubah putih itu.

“Banyak hal yang terkait dalam usaha mengentas kemiskinan dan penderitaan rakyat pada saat
ini. Kau tidak bisa merubahnya hanya dengan memberi para penduduk miskin bantuan makan
dan uang. Kau harus memperingatkan para peng uasa yang zalim agar mau merubah caranya
memerintah yang sewenang-wenang, kau juga harus dapat membimbing rakyat agar dapat
meningkatkan taraf kehidupannya !”

Raden Said semakin terpana, ucapan sepert i itulah yang didambakannya selama ini.

“Kalau kau tak mau kerja keras, dan hanya ingin beramal dengan cara yang mudah maka
ambillah itu. Itu barang ha lal. Ambillah sesukamu !”

Berkata demikian lelaki itu menunjuk pada sebatang pohon aren. Seketika pohon itu berubah
menjadi emas seluruhnya. Sepasang mata Raden Said terbelalak. Dia ad alah seorang pemuda
sakti, banyak ragam pengalaman yang telah dikecapnya. Berbag ai ilmu yang aneh-aneh telah
dipelajarinya. Dia mengira orang itu mempergunakan ilmu sihir, kalau benar orang itu
mengeluarkan ilmu sihir ia pasti dapat mengatasinya.

Tapi, setelah ia mengerahkan ilmunya, pohon aren itu tetap berubah menjadi emas. Berarti
orang itu tidak mempergunakan sihir.

Raden Said terpukau di tempatnya berdiri. Dia mencoba memanjat pohon aren itu. Benar-benar
berubah menjadi emas seluruhnya. Ia ingin mengambil buah aren yang telah berubah menjadi
emas berkilauan itu. Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden Said.
Pemuda itu terjerembab ke tanah. Roboh dan pingsan.

Ketika ia sadar, buah aren yang rontok itu te lah berubah lagi menjadi hijau seperti aren-aren
lainnya. Raden Said bangkit berdiri, mencari orang berjubah putih tadi. Tapi yang dicarinya
sudah tak ada di tempat.

“Pasti dia seorang sakti yang berilmu tinggi. Me nilik caranya berpakaian tentulah dari golongan
para ulama atau mungkin salah seorang dari Waliullah, aku harus menyusulnya, aku akan
berguru kepadanya,” demikian pikir Raden Said.

Raden Said mengejar orang itu. Segenap kemampuan dikerahkannya untuk berlari cepat,
akhirnya dia dapat melihat bayangan orang itu dari kejauhan. Seperti santai saja orang itu
melangkahkan kakinya, tapi Raden Said tak pernah bisa menyusulnya. Jatuh bangun, terseok-seok dan berlari lagi, demikianlah, setelah tenaganya terkuras habis dia baru sampai di
belakang lelaki berjubah putih itu.

Lelaki berjubah putih itu berhenti, bukan karena kehadiran Raden Said melainkan di depannya
terbentang sungai yang cukup lebar. Tak ada jembatan, dan sungai itu tampaknya dalam,
dengan apa dia harus menyeberang.
 
“Tunggu .......... “ ucap Raden Said ketika melihat orang tua itu hendak melangkahkan kakinya
lagi.

“Sudilah Tuan menerima saya sebagai murid ...... “ Pintanya.

“Menjadi muridku ?” Tanya orang itu sembari menoleh. “Mau belajar apa ?”

“Apa saja, asal Tuan meneri ma saya sebagai murid …… “

“Berat, berat sekali anak muda, bersediakah kau menerima syarat-syaratnya ?”

“Saya bersedia …… “

Lelaki itu kemudian menancapkan tongkatnya di tepi sungai. Raden Said diperintahkan
menungguinya. Tak boleh beranjak dari tempat itu sebelum lelaki itu kembali menemuinya.

Raden Said bersedia menerima syarat ujian itu.

Selanjutnya lelaki itu menyeberangi sungai. Sepasang mata Raden Said terbelalak heran, lelaki
itu berjalan di atas air bagaikan berjalan didaratan saja. Kakinya tidak basah terkena air.

Setelah lelaki itu hilang dari pandangan Raden Said, pemuda itu duduk bersila, dia berdo’a
kepada Tuhan supaya ditidurkan seperti para pe muda di goa Kahfi ratusan tahun silam. Do’anya
dikabulkan. Raden Said tertidur dalam samadi nya selama tiga tahun. Akar dan rerumputan
telah membalut dan hampir menutupi sebagian besar anggota tubuhnya.

Setelah tiga tahun lelaki berjubah putih itu datang menemui Raden Said. Tapi Raden Said tak
bisa dibangunkan. Barulah setelah mengumandangkan adzan, pemuda itu membuka sepasang
matanya. Tubuh Raden Said dibersihkan, diberi pakaian baru yang bersih. Kemudian dibawa ke Tuban. Mengapa ke Tuban ? Karena lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang. Raden Said
kemudian diberi pelajaran agama sesuai dengan tingkatnya, yaitu tingkat para Waliullah. Di
kemudian hari Raden Said terk enal sebagai Sunan Kalijaga.

Kalijaga artinya orang yang menjaga sungai.

Ada yang mengartikan Sunan Kalijaga adalah penjaga aliran kepercayaan yang hidup pada masa
itu. Dijaga maksudnya supaya tidak membahayakan ummat, melainkan diarahkan kepada
ajaran Islam yang benar. Ada juga yang mengartikan legenda pertemuan Raden Said dengan
Sunan Bonang hanya sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan Bonang pergi selalu membawa
tongkat atau pegangan hidup, itu artinya Sunan Bonang selalu membawa agama, membawa
iman sebagai penunjuk jalan kehidupan.

Raden Said kemudian disuruh menunggui tongkat at au agama di tepi sungai. Itu artinya Raden
Said diperintah untuk terjun ke dalam kancah masyarakat Jawa yang banyak mempunyai aliran
kepercayaan dan masih berpegang pada agama lama yaitu Hindu dan Budha.

Sunan Bonang mampu berjalan di atas air sungai tanpa ambles ke dalam sungai. Bahkan
sedikitpun ia tidak terkena percikan air sungai. Itu artinya Sunan Bonang dapat bergaul dengan
dengan masyarakat yang berbeda agama tanpa kehilangan identitas agama yang dianut oleh
Sunan Bonang sendiri yaitu Islam.

Raden Said sewaktu bertapa ditepi tubuhnya tidak sampai hanyut ke aliran sungai, hanya daun,
akar dan rerumputan yang menutupi sebagian besar anggota tubuhnya. Itu artinya Raden Said
bergaul dengan masyarakat Jawa, adat istiadat masyarakat di pakai sebagai alat dakwah, dan
diarahkan kepada ajaran Islam yang bersih, namun usaha itu tampaknya sedikit mengotori
tubuh Raden Said dan setelah tiga tahun Sunan Bonang membersihkannya dengan ajaran-ajaran
Islam tingkat tinggi sehingga Raden Said ma suk kegolongan para Wali. Dan pengetahuan
agamanya benar-benar telah cukup untuk dipergunakan menyebarkan agama Islam.

Demikian sehingga tafsiran dari kisah legend a pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang.

3. Kerinduan Seorang Ibu

Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta seperti
kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah usaha Adipati Tuban menangkap para perampok yang

mengacau Kadipaten Tuban membuahkan hasil. Hati ibu Raden Said seketika berguncang.
Kebetulan saat ditangkap oleh para prajurit Tuban, perampok itu mengenakan pakaian dan
topeng yang dikenakan Raden Sa id. Rahasia yang selama ini tertutup rapat terbongkarlah
sudah. Dari pengakuan perampok itu tahulah Ad ipati Tuban bahwa Raden Said tidak bersalah.

Ibu Raden Said menangis sejadi-jadinya. Dia be nar-benar telah menyesal mengusir anak yang
sangat disayanginya itu. Sang ibu tak pern ah tahu bahwa anak yang didambakannya itu
bertahun-tahun kemudian sudah kembali ke Tuba n. Hanya saja tidak langsung ke Istana
Kadipaten Tuban, melainkan ketempat tinggal Sunan Bonang. Untuk mengobati kerinduan sang
ibu. Tidak jarang Raden Said mengerahkan ilm unya yang tinggi. Yaitu membaca Qur’an dari
jarak jauh lalu suaranya dikirim ke istana Tuban.

Suara Raden Said yang merdu itu benar-benar me nggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten.
Bahkan mengguncangkan isi hati Adipati Tuban dan istrinya. Tapi Ra den Said, masih belum
menampakkan diri. Banyak tugas yang masih dikerjakannya. Di antaranya menemukan adiknya
kembali. Pada akhirnya, dia kembali bersama ad iknya yaitu Dewi Rasawulan. Tak terkirakan
betapa bahagianya Adipati Tuban dan istrinya menerima kedatangan putra-putri yang sangat
dicintainya itu.

Raden Said tidak bersedia menggantikan kedudukan Adipati Tuban. Dia lebih suka menjalani
kehidupan yang dipilihnya sendiri. Walau sedikit kecewa Adipati Tuban agak terhibur, sebab
suami Dewi Rasawulan juga bukan orang sembaran gan. Empu Supa adalah seorang Tumenggung
Majapahit yang terkenal. Cucu yang lahir dari keturunan Empu . Akhirnya kedudukan Adipati
Tuban diberikan kepada cucunya sendiri yait u putra Dewi Rasawulan dan Empu Supa.

Raden Said meneruskan pengembaraannya. Berdakwah atau menyebarkan agama Islam di Jawa
tengah hingga ke Jawa Barat. Dalam usia lanjut beliau memilih Kadilangu sebagai tempat
tinggal nya yang terakhir. Hingga sekarang beliau dimakamkan di Kadilangu, Demak.

4. Jasa Sunan Kalijaga

Jasa Sunan Kalijaga sangat suka r dihitung karena banyaknya. Be liau dikenal sebagai Mubaligh,
ahli seni, budayawan, ahli fils afat, sebagai Dalang Wayang Kulit dan sebagainya. Untul lebih
detailnya para pembaca dipersilahkan membaca literatur berjudul Sunan Kalijaga yang ditulis
oleh saudara Umar Hayim, diterbitkan oleh Menara Kudus.

Di dalam buku tersebut diuraikan dengan lengkap jasa dan karya Sunan Kalijaga.
 
Di dalam buku ini kami nukilkan sebagian kecil dari karya dan jasa Sunan Kalijaga.

A. Sebagai Mubaligh

Beliau dikenal sebagai ulama besar, seorang Wali yang memiliki karisma tersendiri diantara
Wali-Wali lainnya. Dan paling terkenal di kalangan atas maupun dari kalangan bawah. Hal itu
disebabkan Sunan Kalijaga suka berkeliling da lam berdakwah, sehingga beliau juga dikenal
sebagai Syekh Malaya yaitu mubaligh yang menyiarkan agama Islam sambil mengembara.
Sementara Wali lainnya mendirikan pesantren atau pedepokan untuk mengajar murid-muridnya.

Caranya berdakwah sangat luwes, rakyat Jawa yang pada waktu itu masih banyak menganut
kepercayaan lama tidak ditentang adat istiadatny a. Beliau dekati rakyat yang masih awam itu
dengan cara halus, bahkan dalam berpakaian beliau tidak memakai jubah sehingga rakyat tidak
merasa angker dan mau menerima kedatangannya dengan senang hati.

Pakaian yang dikenakan se hari-hari adalah pakaian adat Jawa yang di disain dan disempurnakan
sendiri secara Islami. Adat istiadat rakyat, yang dalam pandangan Kaum Putihan dianggap
bid’ah tidal langsung ditentan g olehnya selaku Pemimpin Kaum Abangan. Pendiriannya adalah
rakyat dibuat senang dulu, direbut simpatin ya sehingga mau menerima agama Islam, mau
mendekat pada para Wali. Sesudah itu barulah mereka diberi pengertian Islam yang
sesungguhnya dan dianjurkan membuang adat yang bertentangan dengan agama Islam.

Kesenian rakyat baik yang berupa gamelan, gencing dan tembang-tembang dan wayang
dimanfaatkan sebesar-besarnya sebagai alat da kwah. Dan ini ternyata membawa keberhasilan
yang gemilang, hampir seluruh rakyat Jawa pada waktu it u dapat menerima ajakan Sunan
Kalijaga untuk mengenal agama Islam.

B. Sunan Kalijaga Sebagai Ahli Budaya

Gelar tersebut tidak berlebihan karena beliaulah yang pertama kali menciptakan seni pakaian,
seni suara, seni ukir, seni gamelan, wayang k ulit, bedug di mesjid, Gerebeg Maulud, seni Tata
Kota dan lain-lain.

a. Seni Pakaian :
Beliau yang pertama kali menciptakan baju taqwa. Baju taqwa ini pada akhirnya
disempurnaka oleh Sultan Agung dengan dester nyamping dan keris serta rangkaian lainnya.
Baju ini masih banyak di pakai oleh masyarakat Jawa, setidaknya pada upacara pengantin.

b. Seni Suara :
Sunan Kalijagalah yang pertam a kali menciptakan tembang Dandang Gula dan Dandang Gula
Semarangan.

c. Seni Ukir :
Beliau pencipta seni ukir bermotif dedauna n, bentuk gayor atau alat menggantungkan
gamelan dan bentuk ornamentik lainnya yang sekarang dianggap seni ukir Nasional.
Sebelum era Sunan Kalijaga kebanyakan seni ukir bermotifkan manusia dan binatang.

d. Bedug atau Jidor di Mesjid :
Beliaulah yang pertama kali mempunyai ide menciptakan Bedug di masjid, yaitu
memerintahkan muridnya yang bernama Sunan Bajat untuk membuat Bedug di masjid
Semarang guna memanggil orang untuk pergi mengerjakan shalat jama’ah.

e. Gerebeg Maulud :
Ini adalah acara ritual yang diprakarsai S unan Kalijaga, asalnya adalah tabliqh atau
mengajian akbar yang diselenggarakan para wali di Masjid Demak untuk memperingati
Maulud Nabi.

f. Gong Sekaten :
Adalah gong ciptaan Sunan Kalijaga yang nama aslinya adalah Gong Syahadatain yaitu dua
kalimah Syahadat. Bila gong itu dipukul akan be rbunyi bermakna : di sana di situ, mumpung
masih hidup, berkumpullah untuk masuk agama Islam.

g. Pencipta Wayang Kulit :
Pada jaman sebelum Sunan Ka lijaga, wayang bentuknya adalah sebagai berikut;
Adegan demi adegan wayang tersebut digambar pada sebuah kertas dengan gambar ujud
manusia. Dan ini diharamkan oleh Sunan Giri.

Karena diharamkan oleh Sunan Giri, Suna Kalijaga membuat kreasi baru, bentuk wayang
dirubah sedemikian rupa, dan digambar atau di ukir pada sebuah kulit kambing, satu
lukisan adalah satu wayang, sedang di jaman sebelumnya satu lukisan adalah satu adegan.
Gambar yang ditampilkan oleh Sunan Kalijaga tidak bisa disebut gambar manusia, mirip
karikatur bercita rasa tinggi. Diseluruh dunia hanya di Jawa inilah ada bentuk wayang
seperti yang kita lihat sekarang. Itulah ciptaan Sunan Kalijaga.

h. Sebagai Dalang :
Bukan hanya pencipta wayang saja, Sunan Kalijaga juga pandai mendalang. Sesudah
peresmian Masjid Demak dengan shalat Jum’ah , beliaulah yang mendalang bagi pagelaran
wayang kulit yang diperuntukkan menghibur dan berdakwah kepada rakyat.

Lakon yang dibawakan seringkali ciptaannya sendiri, seperti ; Jimat Kalimasada, Dewi Ruci,
Petruk Jadi Raja, Wahyu Widayat dan lain-lain.

Dalang dari kata “dalla” artiny a menunjukkan jalan yang benar.

i. Ahli Tata Kota :

Baik di Jawa maupun Madura seni bangunan Ta ta Kota yang dimiliki biasanya selalu sama.
Sebab Jawa dan Madura mayoritas pendud uknya adalah Islam. Para penguasanya
kebanyakan meniru cara Sunan Kali jaga dalam membangun Tata Kota.

Tehnik bangunan Kabupaten atau Kota Praja biasanya terdiri dari :

1. Istana atau Kabupaten
2. Alun-alun
3. Satu atau dua pohon beringin
4. Masjid

Letaknya juga sangat teratur, bukan sembarangan. Alun-alun ; berasal dari kata “Allaun”
artinya banyak macam atau warna. Diucapkan dua kali “Allaun-allaun” yang maksudnya
menunjukkan tempat bersama ratanya segenap rakyat dan penguasa di pusat kota.

Waringin : dari kata “Waraa’in artinya orang yang sangat berhati-hati. Orang-orang yang
berkumpul di alun-alun itu sangat hati-hati memelihara dirinya dan menj aga segala hukum atau
undang-undang, baik undang-undang negara at au undang-undang agama yang dilambangkan
dengan dua pohon beringin yaitu Al-Qur’an dan hadits Nabi. Alun-alun biasanya berbentuk segi
empat hal ini dimaksudkan agar dalam menjalankan ibadah seseorang itu harus berpedoman
lengkap yaitu syariat, hadiqa t dan tariqat dan ma’rifat. Ja di tidak dibenarkan hanya
mempercayai yang hakikat saja tanpa mengamalkan syariat agama Islam.

Untuk itu disediakan Masjid sebagai pusat kegiatan ibadah.

Letak istana atau kantor kabupaten : letak istana atau pendapat kabupaten biasanya
berhadapan dengan alun-alun dan pohon beringin. Letak istana atau kabupaten itu biasanya
menghadap ke laut dan membelakangi gunung. Ini artinya para penguasa harus menjauhi
kesombongan, sedang menghadap ke laut artiny a penguasa itu hendaknya berhati pemurah dan
pemaaf seperti luasnya laut. Sedang alun-alun dan pohon beringin yang berhadapan dengan
istana atau kabupaten artinya penguasa haru s selalu mengawasi jalannya undang-undang dan
rakyatnya.

sumber: http://dimhad.6te.net