Pendapat Sala Seorang!.
Dalam kamus – kamus Arab kata Qidam adalah lawan kata dari baru, yang bermakna;
yang dahulu (lama). (Lihat Lisanul Arab 5/3552, Qamus Al – Muhith 3/506,
Mukhtar Ash-Shihhah hal. 525, dan lainnya).
Sedang definisi Qidam untuk sifat Allah menurut ahli kalam adalah “Bahwa Allah
Ta’ala tidak ada awal untuk keberadaannya dan IA tidak didahului dengan
ketidak-adaan, adalah Allah ada dan tidak ada sesuatupun selain diri-Nya,
kemudian IA menciptakan makhluk” (Iqtinash Al-Awaly Min Iqtishad Al-Ghazali,
oleh DR. Muhammad Rabi’ Jauhari hal. 73).
Kata Qidam / Qadim dalam Al – Qur’an dan Sunnah
Ada empat tempat penyebutan kata Qadim dalam Al – Qur’an yaitu dalam surat (Qs.
Yusuf: 95, Yasin: 39, Al – Ahqaf:11, dan Asy – Syu’ara:75 dsn 76). Lafadh Qadim
yang ada pada empat tempat tersebut menunjukkan pada sifat bagi makhluk.
(Kekeliruan yang dahulu, sebagai bentuk tanda yang tua, dusta yang lama, dan
nenek moyangmu yang dahulu).
Sedang didalam hadits disebutkan bahwa Rasulullah Saw apabila masuk masjid
beliau berdoa: (Artinya): “Aku berlindung kepada Allah yang Maha Agung, dengan
wajah – Nya yang mulia dan dengan kekuasaannya yang Qadim (terdahulu) dari
syaithan yang terkutuk”. (HR. Abu Dawud) lafadh Qadim pada hadits ini
menunjukkan pada sifat bagi kekuasaan Allah.
Manhaj Ahlus Sunnah dalam menetapkan nama – nama dan sifat Allah
Manhaj (metode) Ahlus Sunnah dalam menetapkan nama – nama Allah (Asmaul Husna)
dan sifat – sifat – Nya adalah menetapkan nama – nama dan sifat – sifat yang
telah ditetapkan oleh Allah Swt untuk diri – Nya atau yang ditetapkan oleh
Rasul – Nya Saw, tanpa mengubah, tanpa meragukan, tanpa mempertanyakan, dan
tanpa membuat permisalan.
Intinya, nama – nama Allah dan sifat – Nya adalah bersifat taufiqi. Tidak ada
ruang untuk berpendapat atau ber – ijtihad di dalamnya. (Untuk mengetahui
manhaj ahlus sunnah dalam asma’ dan sifat ini lihat “Aqidah At- Tauhid” oleh
DR. Shalih Bin Fauzan hal. 63).
Qidam, sifat dari sifat – sifat Allah?
Tidak terdapat di dalam ayat Al – Qur’an bahwa Allah menamai atau mensifati
diri – Nya dengan Qadim atau Qidam. Begitu juga tidak terdapat di dalam sunnah
bahwa Rasulullah Saw menetapkan sifat Qidam Allah Ta’ala. Jika kita konsisten
dengan metode ahlus sunnah dalam menetapkan nama – nama dan sifat Allah seperti
yang kami sebutkan di atas maka secara tegas kita katakan bahwa Qidam bukanlah
nama atau sifat dari Allah Swt.
Al – Qadi Ibnu Abi Al – Izz Al – Hanafy dalam Syarh Aqidah ath – Thahawiyah
berkata: “para ahli kalam telah memasukkan kata Al – Qidam didalam nama – nama
Allah, padahal ia bukanlah nama dari nama – nama Allah…”
Ar – Raghib Al – Ashfahany dalam kitabnya Al – Mufradat berkata: “Tidak
terdapat satu kata pun dari Al – Qur’an maupun atsar yang shahih yang
menunjukkan bahwa Qadim itu adalah sifat Allah, para ahli kalam menggunakan dan
mensifatkan Allah dengan hal itu”.
Allah adalah Al – Awwal (yang awal)
Untuk menunjukkan bahwa Allah tidak didahului oleh apapun, yang keberadaannya
tidak ada permulaannya maka Allah memperkenalkan diri – Nya kepada kita bahwa
Dia adalah Al – Awwal (bukan dengan Qidam).
Allah Swt berfirman:
Artinya: Dialah yang awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin dan dia
Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S: Al – Hadid: 3).
Al – Khatthabi berkata: “Al – Awwal berarti yang mendahului segala sesuatu,
yang ada dan sudah ada sebelum adanya makhluk, yang karena itulah Dia berhak
menyandang predikat pertama karena keberadan – Nya itu, yang tidak didahului
dan dibarengi oleh apapun.” (Sya’n ad – Du’a:87).
Al – Awwal serupa dengan Qidam
Akan muncul sebuah pertanyaan: Bukankah istilah Al – Awwal ada keserupaan
dengan istilah Qidam. Lalu mengapa kata Qidam tidak ditetapkan saja sebagai
sifat dari sifat – sifat Allah?
Jawabnya: yang pertama, karena kita konsisten
dengan manhaj Ahlus sunnah. Yang kedua, jika benar sifat Al – Awwal serupa
dengan Qidam(padahal keduanya memang ada perbedaan, seperti yang dinyatakan
oleh Abu Al – Izz Al – Hanafy) maka tetap ia tidak dapat digunakan untuk
menetapkan nama atau sifat Allah. Al – Khatthabi berkata: “Analogi tidak berlaku
terhadap nama – nama Allah, dalam pengertian, menyejajarkan sesuatu dengan
sejenisnya, dengan pertimbangan aturan bahasa dan logika kalimatnya”. (Sya’n ad
– Du’a: 111).
-------------------------------------------------------------
Qidam (Terdahulu)
Allah itu Qidam (Terdahulu). Mustahil Allah itu Huduts (Baru).
“Dialah Yang Awal …” [Al Hadiid:3]
Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Allah yang menciptakan langit, bumi,
serta seluruh isinya termasuk tumbuhan, binatang, dan juga manusia.
“Yang demikian itu adalah Allah, Tuhanmu, Pencipta segala sesuatu..?” [Al
Mu\'min:62]
Oleh karena itu, Allah adalah awal. Dia sudah ada jauh sebelum langit, bumi,
tumbuhan, binatang, dan manusia lainnya ada. Tidak mungkin Tuhan itu baru ada
atau lahir setelah makhluk lainnya ada.
Sebagai contoh, tidak mungkin lukisan Monalisa ada lebih dulu sebelum pelukis
yang melukisnya, yaitu Leonardo Da Vinci. Demikian juga Tuhan. Tidak mungkin
makhluk ciptaannya muncul lebih dulu, kemudian baru muncul Tuhan.
3. Baqo’ (Kekal)
Allah itu Baqo’ (Kekal). Tidak mungkin Allah itu Fana’ (Binasa).
Allah sebagai Tuhan Semesta Alam itu hidup terus menerus. Kekal abadi mengurus
makhluk ciptaannya. Jika Tuhan itu Fana’ atau mati, bagaimana nasib ciptaannya
seperti manusia?
“Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup (kekal) Yang tidak mati…” [Al
Furqon 58]
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang
mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” [Ar Rahman:26-27]
Karena itu jika ada “Tuhan” yang wafat atau mati, maka itu bukan Tuhan. Tapi
manusia biasa.
Hikmah: Jika kita mencintai Allah yang Maha Kekal dan selalu ada dan
menjadikanNya teman serta pelindung, niscaya kita akan tetap sabar meski
kehilangan segala yang kita cintai.
---------------------------------------------------
QIDAM (a.) dalam kosakata teknis keabadian menunjukkan filsafat dan teologi.
Ini harus dibedakan dari azal dan dari [qv] abad. Al-Tahanawi menulis: 'azal
adalah konstan durasi eksistensi di masa lalu, seperti abad adalah waktu yang
konstan di masa depan. " Berbeda dengan asal temporal (huduth), itu adalah
fakta yang telah didahului dengan tidak ada yang lain (al-la masbuqiyya l bi
'-ghayr): azal berarti negasi dari awal pertama (najy al-awwaliyya), yang
karena itu kasus keabadian sebuah ante parte, dan abad adalah keabadian posting
parte. Azal dan abad pada dasarnya identik dalam Allah (inna abaduhu 'ain
azalihi), karena mereka berarti bahwa dua kaki relatif yaitu awal dan akhir
keduanya' terputus 'dari Allah (inqita' anhu al-tarafayn al-idafiyyayn ' ).
Untuk Dia mereka adalah atribut negatif (lih. Fakhr al-Din al-Razi, komentar
onqthe Terindah Nama Allah, surah VII, 180;. Azali dan qadim diklasifikasikan
antara atribut nyata dan negatif Pertama, awwal dianggap sebagai nyata,
disertai dengan hubungan dan negasi (Sifa haqiqiyya ma'a 'l-idafa wa' l-salb).
Dia adalah abadi, dalam arti Azali, yang tidak didahului oleh ketiadaan, apa
yang ada sebelum konsepsi rasional awal pertama (qabla ta'aqqul al-awwaliyya),
dan dalam arti abadi, yang berlangsung melampaui semua konsepsi rasional dari
sebuah kata yang akhir (ta'aqqul ba'da al-akhiriyya). Melalui berbagai definisi
ada datang ke cahaya dua konsepsi pra-keabadian dan pasca-keabadian. Yang
pertama adalah bahwa durasi tak berujung (la nihayata lahu) yang membentang baik
terhadap masa lalu, atau menuju masa depan (dalam hal ini juga dikenal sebagai
al-la-yazal, yang tidak berhenti menjadi) Skema ini (lih.. bawah) menimbulkan
banyak kesulitan dalam pemecahan masalah penciptaan dunia, karena
memperkenalkan konsep waktu tak terbatas sebelum saat penciptaan ini.
Yang
kedua lebih filosofis: dua kekekalan tidak lebih dari konsepsi negatif, yang
berpikir kontemplatif telah jalan untuk memahami ide kekekalan dalam kaitannya
dengan waktu, tapi yang tidak sesuai dengan realitas waktu yang tidak terbatas
dalam dua pengertian: mereka relatif ke modus pemikiran milik roh manusia, yang sebagai poin-poin al-Razi (lih. bawah), tidak bisa
membayangkan itu sendiri di luar waktu. Realitas yang tersembunyi di balik
konsep-konsep imajiner adalah bahwa Allah dan subsisten Nya melalui Zat-Nya
(baqa'uhu bi-dhatihi), yaitu, dari yang benar-benar tidak terpengaruh oleh
waktu dan temporalitas.
Jadi, apa menunjukkan qidam? Secara etimologis, istilah harus dikaitkan dengan
azal karena merupakan akar mengekspresikan ide tentang kejuaraan. The LA
mengatakan itu persis sama seperti al-Tahanawi berkata tentang azal: "Ini
adalah bertentangan asal temporal (naqid al-huduth) '. Ibnu Manzur juga
menjelaskan melalui 'ataqa dan sabaqa akar (' mendahului dalam perlombaan ').
Harus sebenarnya dicatat bahwa gagasan anteriorness dalam waktu atau ruang
dihubungkan dengan yang senilai unggul, seperti yang akan muncul dari qadam
substantif dan dari al-Qur'an nya: sidq qadam (X, t) yang menafsirkan
al-Zamakhshari sebagai sabiqa wa-fadl wa-manzila rafi'a, prioritas, tempat
tinggal yang lebih tinggi bahwa Allah sedang mempersiapkan orang-orang mukmin.
Penjelasan lain adalah bahwa di muka hadiah telah dipersiapkan untuk mereka
pada bagian Allah (sabaqa lahum qad 'Allahkhayr ind) yang menyatukan dua
ide-ide anteriorness dan keunggulan karunia-karunia ilahi. Bisa dicatat lebih
lanjut, sehubungan dengan qadam ('langkah', mana fakta menjadi selangkah lebih
maju dari orang lain, didahulukan) bahwa LA, serta Al-Qurtubi dalam komentarnya,
mengutip ayat-ayat dari l Ju ' -Rumma [qv] di mana ekspresi mentalitas Badui
dapat dilihat: qadam dikaitkan sana dengan bangsawan tinggi dan tindakan
kemegahan (mafakhir). Karena kualitas etika Badui yang pada umumnya dialihkan
oleh Islam kepada Tuhan, itu wajar mungkin boleh dianggap bahwa akar qDM
dilayani tidak hanya berkonotasi pada anteriorness Allah, tetapi juga ontologis
pre-eminence Nya atas segala sesuatu, sementara itu harus dibuat jelas bahwa
ini bukan suatu kejuaraan dan bukit-pra relatif terhadap orang lain, seperti
dalam kasus mufakhara yang menyiratkan persaingan, tapi kualitas yang
transendental dan mutlak. Hal ini dalam pengertian ini bahwa LA mengatakan
bahwa Allah adalah al-Muqaddim, karena ia mendahului segala sesuatu (yuqaddim
al-ashya ') dan Dia menempatkan mereka di tempat mereka (yada'uha fi
mawadi'iha). Tetapi qidam syarat dan qadim dalam arti keabadian dan
theqeternal, adalah ciptaan teknis (istilahat), mereka tidak Alquran. Abd al
The kadi '-Jabbar, dalam Syarah, menulis bahwa menurut prinsip-prinsip qadim
bahasa yang telah ada untuk waktu yang lebih lama daripada sesuatu yang lain
(ma taqadama wudhudhuhu) dan dia mengutip ayat (XXXVI, 39) dimana Allah
membandingkan bulan ke kelapa tua (l-'urdhun al ka '-qadim). Sedangkan untuk qidam
kata, tidak terjadi di qur'an itu. Buku mengungkapkan menyampaikan ide
kekekalan ilahi melalui transendensi. Allah adalah al-Muta'ali (XIII, 9), dan
nama ini, menurut al-Razi, milik dia atas dasar bahwa ia adalah benar-benar
dihapus (munazzah) pada intinya Nya, dalam sifat-sifat-Nya dan tindakan-Nya
dari semua yang mungkin tidak menegaskan tentang Dia. Karena itu, Dia berada di
luar waktu, Kekal, dan dengan demikian bahwa istilah qadim, yang diambil
benar-benar (al-qadim) menunjukkan Tuhan sendiri.
Al-Tahanawi juga membuat qidam kebalikan dari [qv] huduth. Kedua istilah
atribut menunjukkan eksistensi dan belajar bersama. Essence (mahiyya) adalah
ahli dalam hal kualifikasi keberadaan yang bersangkutan. Mereka dapat
diterapkan dalam ketiadaan, menurut apakah itu didahului oleh adanya atau
tidak, sehingga seseorang bisa berbicara tentang suatu kehampaan abadi atau
ketiadaan yang dihasilkan dari penghapusan. qidam dan huduth dapat diambil
sesuai dengan realitas
(Haqiqiyyan) atau menurut hubungan (idafiyyan).
1.kekekalan Real terdiri dalam fakta tidak didahului oleh hal lain menurut sebuah
kejuaraan yang sangat penting dan tidak temporal. Ini adalah apa yang dikenal
sebagai kekekalan penting (dhati qidam), yang terdiri dalam kenyataan
membutuhkan apa pun selain diri dalam rangka ada. Ini menyiratkan pentingnya
yang sedang. The Abadi dalam pengertian ini adalah yang diperlukan Menjadi.
Sebaliknya, asal (huduth) adalah fakta yang telah didahului oleh sesuatu yang
ada menurut sebuah kejuaraan penting, yang dalam hal ini mungkin atau mungkin tidak
juga menjadi kejuaraan temporal (misalnya, dunia pada dasarnya adalah hasil
dari suatu asal, itu muhdath, tapi tidak ada yang mendahului waktu, manusia
juga dasarnya melahirkan, tetapi orangtuanya ada di waktu sebelumnya untuk
kelahirannya). Dalam arti tertentu, waktu adalah hasil asal suatu (hadits),
karena jika telah didahului dengan apa-apa yang bisa telah ada sebelum secara
temporal, yang masuk akal hipotesis, tidak memiliki keberadaan mutlak diperlukan Menjadi dan pada setiap
saat memperbaharui dirinya sendiri. Hal ini mungkin untuk memahami secara
khusus oleh keabadian fakta tidak didahului oleh tidak adanya suatu kejuaraan
temporal: ini maka akan dipanggil kekekalan temporal (Zamani qidam), dan kekal
dalam segi waktu karena itu 'bahwa yang waktu keberadaan tidak memiliki awal
pertama. Demikian pula, orang dapat berbicara tentang asal temporal (Zamani
huduth) di mana keberadaan yang didahului oleh non-eksistensi dalam waktu. Jadi
kita mendefinisikan bahwa yang merupakan buah dari asal temporal (al-hadits
al-Zamani) sebagai yang didahului dalam waktu oleh non-keberadaannya, sesuai
dengan rumus terkenal: lam yakun, tsumma kana ('itu adalah tidak, maka itu
terjadi '). Dalam pengertian ini, waktu tidak hadits karena tidak ada yang bisa
pra-ada itu sendiri.
Adapun qidam relatif, ini menunjukkan bahwa waktu masa lalu keberadaan yang
lebih besar daripada keberadaan lainnya. Namun hal ini tidak dapat disampaikan
oleh kata keabadian. Ini menyangkut kuno dari yang dibandingkan dengan hal-hal
baru lain, dan qadim berarti kuno, tua, Atiq seperti '. Sebaliknya, huduth akan
kebaruan, hadits, bahwa yang baru.
Al-Tahanawi menambahkan bahwa keabadian lebih penting tertentu (akhass) dari
keabadian temporal, yang pada gilirannya lebih khusus dari kekekalan relatif
atau kuno. Dengan demikian diperlukan Menjadi, yang qadimdhati, juga kekal
menurut titik pandang temporal, karena tidak didahului oleh ketiadaan atau
dengan apa yang selain itu sendiri. Tetapi sebaliknya tidak benar: sehingga
atribut abadi Menjadi, yang tidak didahului oleh ketiadaan karena mereka adalah
concomitants esensi yang abadi, tidak kekal dalam diri mereka sendiri dan tidak
memiliki dhati qidam. Hal yang sama dapat dikatakan dari dunia yang qadim
Zamani menurut filsuf, tetapi yang tidak qadimdhati Namun, karena tergantung
pada penyebabnya, yang selain itu sendiri. Adapun idafi qidam, tidak co-luas
dengan Zamani qidam. Bahkan, masa lalu keberadaan seorang mungkin lebih besar
dibandingkan dengan yang kemudian terjadi untuk pertama kalinya. Ini berlaku
untuk ayah yang qadim dalam hubungannya dengan anaknya, tetapi siapa yang tidak
demikian Zamani qadim, karena ia lahir dari orang tua Jadi jika kita
membandingkan dunia untuk seorang pria, kedua memiliki sejarah yang terdiri
dari acara berturut-turut. Sehubungan dengan salah satu kejadian, masa lalu
dunia dan manusia ini berlangsung selama waktu yang lebih besar dari terjadinya
baru. Masing-masing dari mereka itu akan disebut qadim dalam kaitannya dengan
hal itu. Mereka berdua idafi qadim. Tetapi dunia tidak hanya qadim dalam
konteks ini: begitu dalam dirinya sendiri, karena tidak pernah ada waktu dimana
tidak ada. Manusia hanya qadim dalam hubungannya, misalnya, untuk hal ayah-Nya:
pasti dia mendahuluinya, tetapi justru menurut antecedence yang hanya relatif
untuk itu. Sebaliknya, dalam konteks asal-usul, adalah idafi huduth yang paling
khusus, kemudian datang Zamani huduth dan dhati akhirnya huduth. Hal ini karena
segala sesuatu yang keberadaannya di masa lalu mencakup waktu kurang bentang
(aqall: artinya idafi hadits) didahului oleh ketiadaan, dan karenanya Zamani
hadits. fortiori A, itu adalah dhati hadits. Analisis ini jelas dipengaruhi
oleh pikiran para filsuf yang cenderung keabadian mengasosiasikan dengan
kebutuhan ontologis dari wadhib al-wudhud dan huduth dengan kontinuitas. Teolog
hanya dipahami oleh qadim yang tidak didahului oleh ketiadaan, atau dalam
kosakata al-Tahanawi, Zamani qadim.
Untuk apa gagasan keabadian berlaku? qidam berhubungan pertama esensi Allah.
Pada titik ini semua filsuf dan ulama berada dalam perjanjian. Pada pertanyaan
tentang keabadian atribut Allah, ada perbedaan pendapat di antara mutakallimun
tersebut. Allah adalah kekal karena Ia tidak tunduk pada asal, dan yang, tidak
bisa lain selain muhdath atau qadim. Jadi, jika Allah telah dikenakan asal,
dalam rangka ada Dia akan membutuhkan makhluk lain untuk menciptakan padanya,
muhdith sebuah. Tetapi pertanyaan itu akan berlaku untuk yang kedua juga dan
seterusnya hingga tak terbatas. Jadi kita harus menegaskan keberadaan Allah
sebagai Pencipta yang kekal, seperti yang diungkapkan oleh 'Abd al-Jabbar
(al-'ani' al-qadim). Argumen ini, yang dikenakan tanda filosofis, bukan milik
eksklusif dari Mu'tazilis. Hal ini ditemukan dalam kondisi yang sama atau serupa
dalam Kitab al-Tamhid al-Baqillani, dalam bab di mana ia menunjukkan bahwa agen
yang menghasilkan makhluk tunduk pada asal (fa'il al-muhdathat) tidak dapat
sendiri menjadi buah dari asal. Hal ini ditemukan dalam Kitab al-Irshad
al-Juwayni, di mana ia membuktikan bahwa keberadaan Abadi 'tidak melantik
sendiri' (¸ wudhu muftatih ghayr al-qadim), di tempat yang sama dia memberikan
pengamatan yang menarik dan tepat pada konsep sebuah keberadaan yang tidak
memiliki awal: apakah ini tidak berarti suatu suksesi momen tak terbatas? Dia
repliesqthat saat hal didefinisikan oleh fakta bahwa kontemporer dengan hal-hal
lain. Sekarang Allah tidak kontemporer dengan hal lain. Jadi kekekalan Allah
tersirat oleh keunikan nya.
SWASTA
Sekolah Asy'ari mengakui keabadian atribut ilahi. Sebaliknya, para Mu'tazilis
mengungkapkan prinsip utama bahwa 'Tuhan ada co-kekal', menurut rumus 'Abd
al-Jabbar dalam Syarah (la qadima ma' Allah). Meskipun demikian, mereka
mengakui yang kekal empat atribut: eksistensi, kehidupan, pengetahuan dan
kekuasaan. Bahkan, menurut al-Jubba'i dan mayoritas orang-orang terpelajar dari
sekolah, ini tentu empat atribut milik Allah melalui esensi-Nya, karena itu
mereka juga abadi. Pengetahuan Nya tindakan-Nya berada di pengetahuan (Aliman
kawnuhu ') dan yang sama berlaku untuk Sifat lain. Atau, Dia tahu melalui
pengetahuan yang sendiri (Abu 'l-Hudhayl), dll Mereka tidak mengatakan bahwa Ia
memiliki pengetahuan yang kekal, tetapi ia tidak berhenti menjadi dalam tindak
pengetahuan (lam yazal' Aliman), dll 'Abbad b. Sulaiman menolak untuk
mengatakan bahwa Allah memiliki pengetahuan, ada lebih dari Dia memiliki
kekekalan (qidam), tetapi dapat dikatakan bahwa Dia adalah kekal (qadim).
Sebaliknya, Ibnu Kullab berpikir bahwa Allah adalah dalam tindak pengetahuan
melalui pengetahuan milik-Nya, dan seterusnya. Untuk mengatakan bahwa Dia
adalah kekal, adalah untuk menegaskan bahwa Dia tidak berhenti menjadi dalam
Nama-Nya dan Atribut (lam yazal bi-asma'ihi wa-sifatihi; Maqalat). Esensi Allah
saja yang kekal, bukan dalam arti bahwa hal itu dilucuti dari semua atribut,
tetapi sebaliknya, berpakaian dalam semua milik Allah. Sebagian dari
murid-muridnya mengklaim bahwa Allah adalah kekal melalui kekekalan (qadim
bi-qidam), yang lain bahwa Dia adalah kekal, tetapi bukan melalui suatu
kekekalan (qadim la qidam-bi). Kita mulai berurusan di sini dengan seluk-beluk
murni bahasa, seperti dalam perbedaan antara dua ekspresi 'Allah tidak lagi
menjadi' dan 'Allah tidak lagi menjadi melalui atribut abadi keabadian. "
Sebuah bagian dari Maqalat layak pemberitahuan, namun; 'The pendukung teori
atribut (ashab al-Sifat) berbeda pendapat mengenai atribut Sang Pencipta:
mereka kekal atau memiliki suatu asal mereka? Beberapa orang mengatakan bahwa
mereka kekal. Lain menyatakan: "Jika kita berkata, bahwa Sang Pencipta
adalah abadi dalam sifat-sifat-Nya, kita tidak perlu untuk mengatakan bahwa
atribut-Nya adalah kekal, sehingga kita tidak mengatakan bahwa mereka kekal,
atau bahwa mereka memiliki sebuah asal." Menurut al-Tahanawi, Abu Hasyim menambahkan
atribut kekal kelima dengan empat di atas; kekudusan (al-ilahiyya), yang
berbeda dari esensi. Hal ini mengingatkan pada divinitas teolog abad 1tth dari
Chartres, Gilbert de la Porree. Hal ini tidak diragukan lagi ini tesis bahwa
'Abd al-Jabbar menyinggung ketika ia menulis bahwa, menurut Abu Hashim,
atribut-atribut milik Allah selalu, dan karena itu yang ia menegaskan pada
intinya nya (li-ma Huwa' alayhi fi dhatihi). Jadi melalui keilahian bahwa
atribut-atribut ini abadi. Untuk Sulaiman b. Jarir dan lain ifatiyya,
atribut-atribut milik Allah selalu harus melalui 'gagasan (li-Ma'ani) yang
dapat dikualifikasikan tidak oleh keberadaan maupun non-eksistensi, atau dengan
asal atau kekekalan' (Syarah). Ini adalah konsep atribut nosional (Sifa
ma'nawiyya), istilah yang telah diterjemahkan beragam seperti 'penting',
'kualitatif', atau bahkan 'entitative'. Hal ini tidak lain dari kualifikasi
yang dibuat perlu oleh gagasan bahwa seseorang memiliki Allah. Ma'na selalu
merupakan gagasan menandakan fundamento cum di ulang. The ma'nawi atribut
karena itu tidak esensi, juga bukan 'sesuatu' di dalam Allah. Ini adalah yang
realitas tuntutan Allah yang satu saysqof Allah. Tapi, di sini juga, bahwa yang
kekal adalah Allah dan esensi-Nya, dan ma'nawiyya Sifa lolos semua alternatif
ontologis. Namun demikian, menurut 'Abd al-Jabbar, murid-murid tertentu dari
Ibnu Kullab tereifikasi yang Ma'ani dan menganggap mereka akan kekal, karena
mereka empat atribut tersebut yang dipasang pada Allah dengan cara yang
azaliyya Ma'ani, yang dapat diterjemahkan 'entitas yang abadi' oleh. (Kita
dapat mencatat Abd al dengan '-Jabbar bahwa di sini Azali memiliki rasa qadim,
seperti yang sering terjadi). Kadi menunjukkan bahwa Kullabiyya tetapi tidak
berani menggunakan formula ini dalam pengertian mutlak, agar tidak bertentangan
dengan kebulatan suara kaum muslimin atas penolakan atribut co-kekal.
Dari akar yang sama dengan qidam adalah bentuk masdar 5, taqaddum, yang terjadi
pada sebuah komentar yang sangat menarik dengan Razi pada qur'an, LVII, 3:
"Dia adalah Pertama dan Terakhir '. The taqaddum kata (antecedence)
memiliki beberapa arti: (1) l al-taqaddum bi '-ta'thir mana yg latihan pengaruh
atas akibatnya, misalnya, pergerakan jari mensyaratkan bahwa cincin, (t)
al-taqaddum bi 'l-hadha, berdasarkan kebutuhan yang konsekuen memiliki
pendahuluan tersebut; sehingga satu nnumber adalah anterior ke nomor dua tanpa
penyebabnya, (3) al-taqaddum bi' l-syaraf, menurut layak; sehingga Abu Bakar
memiliki hak lebih 'Umar; (4) al-taqaddum bi' l-martaba, menurut urutan
hirarkis, baik masuk akal, seperti tempat imam dalam doa-doa sebelum beriman
yang berdoa, atau rasional, seperti tempat genus sehubungan dengan spesies; (5)
al-taqaddum bi 'l-Zaman, kejuaraan temporal atau qabliyya; yang al-Razi
menambahkan (6) "Tetapi saya pikir bahwa ada divisi keenam yang adalah
seperti kejuaraan bagian waktu tertentu dalam kaitannya dengan orang lain;
kejuaraan ini tidak sementara, jika tidak maka akan diperlukan waktu untuk
mengembangkan waktu lain, ke titik tak terhingga. Jadi sekarang akan berada
dalam hadiah lain yang akan berada dalam hadiah ketiga ... dan semua hadiah ini
akan hadir pada saat sekarang (kulluha hadira fi l hadha '-an). Tetapi ansambel
saat ini akan posterior ansambel momen masa lalu, sejauh bahwa akan ada waktu
lain untuk ansambel kali (al madhmu '-azmina), yang masuk akal, untuk, yang
waktu, itu akan harus masuk ke dalam ansambel kali. Akibatnya, itu akan baik di
dalam dan luar ansambel ini, yang tidak mungkin. 'Selain itu, kejuaraan ini
bagian waktu dalam hubungannya dengan satu sama lain bukanlah suatu kejuaraan
menurut kausalitas, atau sesuai kebutuhan, jika tidak mereka akan co-exist,
jelas itu tidak sesuai dengan layak, tidak sesuai dengan ruang. Oleh karena itu
jenis taqaddum keenam. Sekarang menunjukkan qur'an bahwa Allah adalah Pertama
(Primus, bukan sebelumnya) untuk semua yang tidak Nya, dan menunjukkan al-Razi
di sini bahwa kualifikasi ini hanya cocok yang diperlukan, pertama dan Menjadi
unik, untuk semua yang tidak mungkin Dia adalah (mumkin) dan mungkin ada hanya
melalui asal: itu adalah muhdath. Tapi apa adalah sifat ilahi kejuaraan ini?
Hal ini tidak berutang kepada tindakan pengaruh, untuk agen dan pasien adalah
salah satu relatif terhadap yang lain dan co-ada. Ini bukan prioritas didirikan
pada kebutuhan, sejak diutamakan di sini adalah mutlak. Ini bukan didahulukan
utang terhadap kekayaan, untuk itu tidak bisa dikatakan bahwa Allah lebih
pantas atau lebih mulia (Ashraf) dari mungkin, karena Dia tidak sebanding
(meskipun dalam satu sisi, adanya diperlukan menyiratkan kegenapan yang selain
yang keberadaan yang mungkin kekurangan). Adapun anteriorities menurut waktu
atau ruang, mereka tidak memiliki makna bagi Allah, karena waktu dan ruang
possibles yang tergantung pada sebuah asal. Allah, yang anterior ke totalitas
kali, tidak anterior sesuai dengan waktu, jika tidak kejuaraan ilahi harus
masuk ke dalam ansambel kali, karena akan menjadi satu waktu; tetapi harus
eksterior untuk itu, karena akan berisi mereka semua dan yang mengandung adalah
selain dari apa yang terkandung.
Ini akan menjadi sebuah absurditas. Rupanya al-Razi mengusulkan, sejauh
menyangkut Tuhan, semacam keenam kejuaraan yang tidak tanpa analogi ke
anteriorities bagian waktu dalam hubungannya dengan satu sama lain. Namun, ini tidak
identik dan itulah sebabnya al-Razi, ketika memperkenalkan divisi keenam, tidak
mengatakan itu, tetapi hanya bahwa itu seperti ... Kesimpulannya, kita tahu
bahwa Allah adalah Pertama secara universal ('ala sabil al-idhmal), tidak
secara rinci (' ala sabil al-tafsil). Sedangkan untuk menangkap realitas
prioritas ini (awwaliyya), kecerdasan manusia tidak berarti, karena mereka
tidak dapat melarikan diri bentuk temporal. Kita dapat mencatat bahwa pembagian
serupa taqaddum harus ditemukan di filsuf al-Maqasid al-óhazali, kecuali bahwa taqaddum yang bi
'l-hadha disebut taqaddum bi' l-tab ', dalam kasus di mana yg tidak ditekan
oleh penindasan dari konsekuensi, tapi konsekuen ditekan oleh penindasan dari
yg (seperti dengan serangkaian angka), dan kecuali bahwa taqaddum bi 'l-ta'thir
menyandang nama taqaddum bi' l-Dhat (dalam hubungan menyebabkan efek).
Doktrin keabadian dunia [lihat abad] dikuatkan dalam Islam hanya oleh filsuf
tersebut, langsung mengikuti sistem pemikiran para filsuf Yunani: Plato,
Aristoteles, Philo dari Alexandria, Proclus, dan John Philoponos yang
tatabahasa. Para Tahafut dua al-Ghazali dan Ibn Rusyd dari kesepakatan
dengannya dalam mode rinci. Argumen mendasar adalah bahwa tidak mungkin untuk
hamil awal yang temporal bagi dunia, saat waktu di mana ia diciptakan, sedemikian rupa sehingga waktu kosong mendahului penciptaan.
Bahkan, jika, seperti Aristoteles mempertahankan, waktu merupakan pengukuran
numerik gerakan (sebuah teori diambil oleh filsuf, lihat haraka), gerakan
menuntut hal yang bergerak, menggerakkan tubuh, dunia fisik dan khususnya
bintang-bintang, maka mungkin waktu untuk telah ada sebelum adanya dunia.
Selanjutnya, jika ada, itu akan abadi atau diciptakan. Tapi kekekalan tidak
sesuai dengan waktu yang berubah dan elapsing (sayalan): masing-masing
bagiannya yang baru dalam hubungannya dengan bagian sebelumnya, dan waktu
memperbaharui sendiri (yatadhaddad) dalam setiap satu dari instants nya. Jika
waktu adalah hadis dalam setiap komponen, itu memiliki semua alasan karena
begitu dalam totalitasnya. Jadi diciptakan: tapi kemudian masalah muncul: itu
dibuat dalam waktu dan melakukan waktu ada sebelum waktu? Itu tidak masuk akal.
Ini adalah argumen yang diambil pada bagian dunia. Pada bagian dari Allah,
diberikan penciptaan temporal, apa yang Sang Pencipta lakukan sebelum membuat.
Apakah Dia tidak aktif? Itu bukan sifatnya dan ditulis (II, t55) 'keletihan
Baik dan tidak tertidur memegang-Nya' itu. Selain itu, jika Dia pertama kali
aktif, maka aktif, perubahan akan terjadi di dalam Dia, yang tidak dapat
diterima. Apa yang akan diinduksi-Nya untuk menciptakan pada saat ketika Ia
melakukan ciptaan-Nya? Sebuah muradhdhih, sesuatu yang bisa memutar skala dalam
arti tindakan penciptaan? Tapi muradhdhih ini kekal atau diciptakan. Jika
abadi, dunia juga harus kekal, kecuali beberapa hal lain yang bisa mencegah
muradhdhih ini dari akting, ini dikenal sebagai muradhdhih tark al-. Tark ini
pada gilirannya akan dibuat atau diciptakan. Jika adalah abadi, pasti ada,
untuk penciptaan telah terjadi, intervensi aqtark muradhdhih tark al-, dan
sebagainya. Jika sekarang muradhdhih dibuat, pertanyaan berlaku untuk sebagai
kepada dunia.
Untuk bagian mereka, para teolog yang percaya pada penciptaan dunia dalam objek
waktu dengan alasan bahwa jika dunia adalah abadi, tidak memiliki awal, tidak
pernah tidak ada lagi dan akibatnya itu telah ada untuk waktu yang tak
terbatas. Sekarang, menurut prinsip Aristoteles, adalah mustahil untuk
melintasi waktu tak terbatas. Jika ada yang tak terbatas instants untuk melintasi
untuk sampai pada saat yang sekarang ini yang ada, tidak mungkin untuk tiba di
sana dan itu tidak ada. Ini adalah suatu kontradiksi. Alasan yang sama dibuat
dalam mempertimbangkan rantai tak terbatas menyebabkan: efek yang ada saat ini
tidak mungkin ada. Kesulitan muncul dari asimilasi dari kekekalan untuk waktu
tak terbatas. Tetapi untuk mengatakan bahwa dunia adalah abadi adalah untuk
menegaskan bahwa sementara sisanya di bagian dalam dunia dan waktu yang terkait
dengan dunia, satu tidak akan pernah menemukan momen yang bisa menjadi awal
pertama. Satu akan perlu kembali tanpa batas, tetapi tidak sampai tak
terhingga: dengan kata lain, kita berhadapan disini dengan waktu yang tidak
terbatas, atau dalam bahasa Aristoteles, dengan tak terbatas pada kekuasaan,
bukan yang tak terbatas dalam tindakan. Singkatnya, keberatan mengandaikan
bahwa ungkapan 'tidak memiliki permulaan dalam waktu' berarti 'memiliki
permulaan dalam waktu tak terbatas. " Selain itu, infinity mungkin dapat
dilalui jika berisi; antara dua titik pada baris, jumlah tak terbatas titik dilalui. Ibnu Sina tampaknya telah
diselenggarakan pandangan ini berkenaan dengan masalah penyebab pertama, analog
dengan masalah awal pertama. Jika seseorang mempertimbangkan ansambel (dhumla)
penyebab dalam dunia ini, jelas bahwa setiap salah satunya adalah sekaligus
sebab dan akibat. Oleh karena itu, seseorang tidak bisa memasukkan ke dalam
ansambel ini merupakan penyebab pertama yang akan tanpa sebab. 'Setiap ensemble
yang masing-masing unit adalah efek yang disebabkan tuntutan menyebabkan eksterior untuk unit 'ini. Dalam hipotesis dari rantai sebab-akibat 'setiap
seri terdiri dari penyebab dan dampak, baik terbatas atau tak terbatas,
menunjukkan dirinya sendiri, jika mengandung dalam dirinya sendiri hanya disebabkan
efek, membutuhkan penyebab yang eksterior untuk itu, tetapi jelas dalam
kontinuitas dengan , seperti dengan batas ( tattasilu tarafan biha ) '. Jika
komponen ensemble ini tidak terbatas, maka kita berhadapan dengan ensemble tak
terbatas terbatas. Artinya, bahwa dalam mencari penyebab pertama, akan terlihat
untuk berdiri keluar sebagai batas kepada tuhan yang berpikir tidak pernah
dapat mencapai dan ke arah yang berjuang. Tetapi tindakan yang tidak perlu
melintasi diskontinuitas terbatas sebab dan akibat dalam rangka untuk bertindak
hik et nunc, karena, seperti Ibnu Sina menunjukkan 'setiap penyebab sebuah
ensemble yang bukan salah satu unit ansambel yang ada di pertama tempat
penyebab unit ini dan dalam menyebabkan konsekuensi dari ensemble. " Tersebut
merupakan salah satu poin Ibnu Sina pandang pada pertanyaan ini, menurut
Isharat . Lain keberatan terhadap teori keabadian dunia didasarkan pada
astronomi. Kami memiliki contoh dalam Fisal Ibn Hazm. Setelah menyatakan bahwa
ke satu waktu tak terbatas dapat menambahkan apa-apa, dan memiliki demikian
menunjukkan bahwa tak terhingga abad untuk datang menambahkan tidak ada tak
terhingga abad berlalu, Ibn Hazm menulis: "Dalam orbit lingkaran nya,
Saturnus membuat satu revolusi di tiga puluh tahun, dan tidak pernah berhenti
untuk mengubah. Lingkungan terbesar, dalam tiga puluh tahun, membuat sekitar
revolusi, dan tidak pernah berhenti untuk mengubah. Sekarang melampaui segala
revolusi keraguan lebih besar dari satu saja. Akibatnya, yang tak terbatas akan
mencapai sekitar kali lebih besar dari yang tak terbatas, yang tidak masuk
akal. " Ini adalah variasi penting pada tema yang sama: asimilasi dari
kekekalan untuk waktu tak terbatas. Alasan Ibn Hazm adalah cerdas, tetapi
mengabaikan kekuasaan tak terbatas.
Dan apa akhir dunia? Plato terpisah, para filsuf menganut pandangan bahwa yang
memiliki awal memiliki akhir, dan secara bersamaan yang memiliki awal tidak ada
akhir. Dari perspektif kreasionis, satu bisa, bagaimanapun, mengakui bahwa
Allah tidak akan menghancurkan apa yang Dia telah menciptakan, sedemikian rupa
sehingga dunia bisa saja diciptakan, tetapi abadi pos parte. Bagi para filsuf,
alam semesta tidak dapat binasa, tetapi bagian dari itu mungkin hilang. Bagi
para teolog yang percaya di akhir dunia, masih ada surga dan neraka yang kekal
dalam arti abadi, bahkan, ada tertulis bahwa Terpilih dan the Damned akan
tinggal di sana kekal (khalidun FIHA hum, sebagai qur ini 'yang mengatakan di
beberapa tempat). Tetapi berdasarkan ayat di mana Allah menggambarkan diriNya
sebagai, Terakhir Jahm b. 'Afwan seharusnya bahwa surga dan neraka juga harus
memiliki akhir, dan ia menemukan konfirmasi dari teorinya dalam ayat 107 dan
108 dari Sura XI, "Untuk tinggal di sana kekal selama langit dan bumi
tetap'. Dengan demikian Allah akan menemukan sendiri sebagai mutlak sendirian
di pasca-keabadian seperti dia di pra-keabadian.
(Arnaldez R.)
-------------------------------------------------------
Yang kedua - Dalil qidam iaitu sanya jikalau tiada ALLAH Taala Qadim (bersifat
qidam) nescaya adalah ia baharu. Yang demikian berkehendak kepada yang
menjadikan Dia. Dan yang membaharukan Dia. Yang demikian membawa kepada daur
iaitu mustahil kerana lazim berhimpun dua yang berlaziman dan membawa kepada
tasalsul iaitu mustahil, kerana yang bersamaan yang sedikit dengan yang banyak.
Yang demikian sabitlah Tuhan itu qadim (tiada permulaan wujud-Nya). Adapun
dalil naqlinya:
Ila jua Tuhan yang awal tiada permulaan dan yang akhir tiada kesudahan. (Al
Hadid: 3)
Adapun makna daur itu iaitu terhenti ada tiap-tiap daripada dua suatu atas yang
lainnya. Umpamanya Zaid menjadikan Umar, dan Umar menjadikan Zaid pula. Maka
pada ketika itu terdahulu Umar tatkala ia menjadikan Zaid, dan terkemudian pula
Umar pada ketika Zaid menjadikan dia. Yang demikian jadilah Umar dan Zaid itu
terdahulu daripada dirinya (berhimpun pada seorang itu dua yang berlaziman
yakni dahulu dan kemudian). Yang demikian tidak diterima oleh akal sekali-kali
kerana yang menjadikan dahulu daripada yang kena jadi maka manakala sabit Umar
menjadikan Zaid maka bagaimana boleh diterima akal Zaid boleh menjadikan Umar
pula kerana Zaid terkemudian daripada Umar, maka yang kemudian barang yang
telah tentu tidak boleh menjadikan orang yang terdahulu daripadanya. Yang
demikian mustahil wujud daur pada akal.
Dan makna tasalsul itu pada loghat berantai-rantai. Maksudnya pada istilah
iaitu berhubung atau bersambung-sambung beberapa perkara lepas satu, satu lepas
satu, satu, hingga tiada berkesudahan. Misalnya seperti dikata Hassan
menjadikan Husin. Husin menjadikan Mohsin, Mohsin menjadikan Khalid, Khalid
menjadikan Jamil, Jamil menjadikan polan dan polan menjadikan polan.
Demikianlah seterusnya tiada berkesudahan. Maka adanya sesuatu yang kena jadi
dengan tiada berkesudahan yang menjadikan itu sesuatu perkara yang tiada
diterima oleh akal (mustahil) adanya.
Maka daripada keterangan ini nyatalah tiap-tiap daur itu tasalsul, tiada
'akasnya dan nyatalah keduanya itu mustahil. Maka jika Tuhan tiada bersifat
dengan qidam nescaya membawa kepada daur atau tasalsul yang mustahil itu
tiap-tiap perkara yang membawa kepada mustahil itu mustahil juga. Yakni lazim
daripada ada Tuhan, tidak ada Tuhan. Tatkala itu adanya makhluk turut mustahil
pula padahal kita semua ada.
DALIL SIFAT QIDAM
PERBAHASAN kita di dalam bab ini berkisar di sekitar dalil-dalil ke atas sifat
kedua yang wajib bagi ALLAH SWT iaitu sifat Qidam. Ertinya, kita hendak
menunjukkan bahawa wajib ALLAH SWT itu bersifat Qidam melalui dalil-dalil dan
buktinya.
Sebelum itu, elok juga kita sentuh serba sedikit tentang pengajian kita yang
awal dulu iaitu semasa kita membahaskan dalil yang menunjukkan ALLAH itu
bersifat Wujud.
Dalil bagi menunjukkan wujudnya ALLAH SWT ialah dengan baharunya alam ini. Dan
baharunya alam ini adalah kerana ia tergabung di antara jirim dan ' aradh Jirim
sepertimana yang kita ketahui adalah sesuatu yang mengambil tempat lapang.
Dengan yang demikian, jirim itu bersifat baharu. Selain dari itu, 'aradh yang
berdiri pada jirim itu, keadaannya sentiasa berubah-ubah, maka 'aradh itu
bersifat baharu. Oleh kerana 'aradh berdiri di atas jirim, maka baharunya
'aradh membawa kepada baharunya jirim.
Jadi, kalau jirim dan 'aradh bersifat baharu sedangkan 'aradh dan jirim adalah
gabungan yang menjadikan alam, maka dengan sendirinya alam juga baharu. Kalau
alam ini baharu, tentulah ada yang membaharukannya. Yang membaharukannya atau
yang menjadikannya adalah ALLAH SWT. Dari itu, jelas membuktikan wujudnya ALLAH
SWT. :
Berikutan dari pengertian kita tentang wujudnya ALLAH SWT itu, maka di sini
kita akan memerhatikan pula tentang dalil yang menunjukkan ALLAH SWT bersifat
Qidam atau bersifat sedia. Erti sedia bagi ALLAH SWT ialah bahawa ALLAH SWT
tidak didahului oleh tiada atau dalam ertikata yang lain, ALLAH SWT tidak ada
permulaan.
Perbahasan yang mudah kita fahami yang dapat kita buat secara ringkas bagi
menunjukkan bahawa wajib ALLAH SWT itu bersifat sedia ialah, kalau ALLAH SWT
tidak bersifat Qidam atau sedia, maka tentulah akal kita akan berkata yang
ALLAH itu baharu. Dan kalaulah ALLAH itu baharu, tentulah ada yang
membaharukan-Nya atau yang menjadikan-Nya.
Dalam bab yang terdahulu, kita telah perhatikan bahawa sifat Qidam atau sedia
bagi ALLAH SWT ialah sedia yang tidak ada permulaannya. Tidak seperti sifat
sedia pada makhluk yang ada permulaannya. Umpamanya, kalau kita katakan yang
nasi itu sudah sedia, ertinya, sedia bagi nasi itu ialah sedia yang ada
permulaan. Dalam ertikata yang lain, sedia bagi nasi yang kita makan itu ialah
suatu sedia yang disediakan. Ada yang menyediakannya. Berlainan sekali dengan
sedia bagi ALLAH SWT yang mana sedia-Nya adalah sedia yang tidak ada permulaan.
Dalil Aqli
Maka yang demikian, kalaulah ALLAH SWT tidak bersifat Qidam, maka jadilah ALLAH
itu baharu. Dan sekiranya ALLAH SWT itu baharu, tentulah ada yang membaharukan-
Nya atau ada yang menjadikan-Nya. Kerana, kalau ALLAH SWT bersifat baharu,
tentulah ALLAH SWT mula-mulanya tiada dan kemudian ada yang mengadakan-Nya.
Demikian akal kita akan berkata sekiranya ada orang yang mengatakan bahawa
ALLAH SWT tidak bersifat Qidam.
Kemudian, sekiranya ALLAH SWT itu baharu, maka yang demikian akan membawa
kepada daur atau tasalsul Daur dan tasalsul ini adalah perkara yang mustahil.
Ia tidak boleh diterima oleh akal tentang wujudnya. Ertinya, tidak akan ada
atau tidak akan berlaku perkara itu. Umpamanya, berlaku dua perkara yang
berlawanan dalam satu masa. Seperti berlakunya siang dan malam dalam satu masa.
Siang sepertimana- yang kita ketahui adalah lawan bagi malam. Bila siang
berlaku, malam tidak berlaku dan bila malam berlaku, siang pula tidak berlaku.
Ertinya, siang dan malam silih berganti dan bergilir-gilir.
Apakah pemah siang dan malam berlaku dalam satu masa? Atau mungkinkah ia boleh
berlaku? Akal tidak akan mahu menerimanya. Ertinya, perkara itu mustahil pada
akal. Iaitu akal yang menentukan bahawa perkara itu tidak akan wujud.
Contoh lain ialah seperti duduk dengan berdiri; dua keadaan yang berlawanan
yang mana berlakunya tidak serentak. Apabila keadaan duduk berlaku, berdiri
tidak berlaku dan apabila keadaan berdiri berlaku, duduk tidak berlaku. Apakah
kedua-dua keadaan ini boleh berlaku serentak dalam satu masa? Tidak mungkin
terjadi. Mustahil akan terjadi. Tidak mahu diterima oleh akal akan berlakunya.
Dan banyaklah contoh yang lain yang boleh kita tunjukkan bagi mendapatkan
pengertian mustahil pada akal ini. Dan bila kita membahaskan tentang daur
ataupun tasalsul nanti, ia adalah benda yang mustahil pada akal. Tidak akan
berlaku tentang wujudnya.
Iaitu kalau ada orang mengatakan yang ALLAH tidak wajib bersifat Qidam, maka
akal kita akan mengatakan yang ALLAH itu baharu. Dan sekiranya ALLAH itu
baharu, maka yang demikian itu akan membawa kepada daur ataupun tasalsul. Dan
ini perkara yang mustahil.
Sebabnya dikatakan daur itu mustahil adalah kerana terhimpunnya dua perkara
yang berlawanan, sepertimana kedudukan malam dan siang berlaku dalam satu masa,
ataupun kedudukan duduk dan berdiri berlaku dalam satu masa. Daur itu ertinya
terhenti ada tiap-tiap daripada dua suatu atas yang lain. Maksudnya, suatu benda
itu tidak akan berlaku kalau tidak ada benda yang lain sepertimana benda yang
lain itu juga tidak akan ada kalau tidak ada benda yang lain pula.
Untuk memahaminya, kita ambil contoh seperti yang disebutkan dalam matan
Risalah Tauhid. Iaitu contohnya Zaid menjadikan Umar dan Umar pula menjadikan
Zaid. Zaid tidak akan jadi kalau tidak ada Umar sepertimana Umar pula tidak
akan jadi kalau tidak ada si Zaid. Jadi, bagaimanakah pertimbangan akal kita
kalau ada yang mengatakan bahawa Umar menjadikan Zaid di samping itu pula si
Zaid menjadikan Umar. Mahukah hal ini diterima oleh akal. Tentunya akal tidak
mahu menerima. Mustahil berlakunya.
Ini satu contoh daur. Perkataan daur itu adalah dari bahasa Arab yang bolehlah
kita maknakan "berpusingpusing". Seperti yang kita katakan tadi, Zaid
menjadikan Umar dan Umar pula menjadikan Zaid. Ertinya, dalam satu ketika Zaid
menjadikan Umar dan dalam ketika yang lain pula Umar menjadikan Zaid. Dalam hal
ini Umar dan Zaid adalah perlu-memerlukan iaitu tidak akan ada Umar kalau tidak
ada Zaid dan tidak pula akan ada Zaid kalau tidak ada Umar.
Apakah akal mahu menerima berlakunya kedudukan tersebut iaitu Umar menjadikan
'Zaid dan kemudian Zaid menjadikan Umar. Ertinya, sama ada pada Umar mahupun
pada Zaid, berlaku dua keadaan yang berlawanan iaitu dahulu dan kemudian.
Nisbah Umar menjadikan si Zaid, Umar adalah dahulu daripada Zaid. Tetapi
apabila Zaid menjadikan Umar, ketika itu Umar pula yang kemudian daripada Zaid.
Jadi, dua perkara yang berlawanan keadaan telah berlaku pada diri Umar mahupun
pada diri Zaid. Tentulah ini mustahil berlaku. Kalau Umar sudah menjadikan si
Zaid, tidaklah akan berlaku pula Zaid menjadikan Umar. Akal tidak mahu menerima
wujudnya. Ertinya tidak mahu diterima oleh akal daur seperti itu.
Dan begitulah boleh kita kiaskan kalau ada orang mengatakan yang ALLAH itu
tidak wajib bersifat Qidam yang membawa erti bahawa ALLAH itu baharu. Kalau
ALLAH itu baharu, ertinya ada yang menjadikan-Nya. Jadi, kalaulah ada orang
mengatakan yang ALLAH itu dijadikan, samalah seperti mengatakan Tuhan pertama
menjadikan Tuhan kedua, dan Tuhan kedua menjadikan Tuhan pertama. Mahukah
diterima oleh akal? Tentu sekali tidak.
Mustahil diterima oleh akal kerana terjadinya dua keadaan yang berlawanan pada
satu perkara. Dua keadaan yang berlawanan itu ialah dahulu dan kemudian. Dengan
yang demikian daur adalah mustahil.
Tadi kita telah katakan bahawa kalau ada orang mengatakan ALLAH tidak wajib
bersifat Qidam, maka berertilah bahawa ALLAH ada permulaan. Bermakna jugalah
yang ALLAH bersifat baharu. Yang demikian itu akan membawa kepada daur dan
tasalsul Daur, seperti yang telah kita bahaskan, adalah mustahil. Dan tasalsul
juga adalah mustahil.
Mustahilnya tasalsul adalah kerana bersamaan perkara yang sedikit dengan yang
banyak. Ertinya, yang banyak dan yang sedikit itu sama dan setaraf. Di sini
tentu agak susah hendak kita fahami kaedah ini kalau kita tidak menghuraikan
erti tasalsul
Tasalsul ini dari bahasa Arab yang maknanya pada loghah ialah
"berantai-rantai". Pada istilah, ertinya ialah berhubung atau
bersambung beberapa perkara dengan tidak berkesudahan. Seperti contohnya, Ahmad
menjadikan Muhammad, Muhammad menjadikan Mahmud, Mahmud menjadikan si Zaid,
Zaid menjadikan si Umar, Umar menjadikan Jamal, si Jamal menjadikan Hassan,
Hassan menjadikan Hussin, Hussin menjadikan Mohsen, Mohsen menjadikan polan,
polan menjadikan polan. Dan begitulah seterusnya berantai-rantai tidak
berkesudahan dan tidak berpenghujung.
Apakah perkara yang seperti ini mahu diterima oleh akal? Tentunya tidak. Akal
tidak mahu menerima terjadi perkara yang tasalsul seperti ini iaitu satu-satu
perkara itu terjadi berhubung-hubung atau berantai-rantai hingga tidak ada
penghujung atau tidak ada kesudahan. Pertimbangan akal kita menolak terjadinya
hal ini. Sebab itu dikatakan bahawa;!, tasalsul juga mustahil.
Ertinya, kedua-dua daur dan tasalsul tidak akan terjadi pada ALLAH SWT. Dan
oleh itu, nyatalah bahawa ALLAH SWT tidak bersifat baharu. Ertinya ALLAH SWT
tidak ada. yang membaharukan. Dengan itu juga, nyatalah bahawa. ALLAH SWT tidak
ada permulaannya. Iaitu ALLAH SWT. tidak didahului oleh tiada. Kerana itu,
wajiblah ALLAH bersifat Qidam atau bersifat sedia yang tidak ada permulaan.
Berhubung dengan pengertian daur dan tasalsul tadi, di sini kita perpanjangkan
sedikit lagi perbahasan mengenainya. Telah pun kita ketahui bahawa daur dan
tasalsul itu adalah; mustahil pada ALLAH SWT Kerana itu bolehlah kita katakan
bahawa tiap-tiap daur itu adalah tasalsul. Tetapi tiap-tiap tasalsul bukannya
daur. Demikian tersebut di dalam matan Risalah Tauhid.
Maksudnya, sama ada daur mahupun tasalsul, mengikut pandangan akal, adalah
mustahil berlakunya pada ALLAH SWT. Dan seterusnya, tiap-tiap yang membawa
kepada mustahil itu adalah mustahil juga.
Jadi, kalau ada orang yang mengatakan bahawa ALLAH SWT tidak wajib bersifat
Qidam, nanti akan berlakulah daur dan tasalsul itu pada ALLAH SWT. Daur dan
tasalsul ini adalah mustahil. Dan tiap-tiap yang membawa mustahil itu adalah
mustahil juga; yakni, lazim daripada ada Tuhan, tidak ada Tuhan. Dan di waktu
itu, adanya makhluk turut mustahil pula.
Tentulah demikian akal kita akan mengatakan kalau daur dan tasalsul itu berlaku
pada ALLAH SWT yang mana akan membawa kepada mustahil wujudnya Tuhan. Manakala,
kalau wujudnya Tuhan itu mustahil, sudah tentulah wujudnya makhluk juga akan
menjadi mustahil. Sedangkan makhluk dan seluruh alam ini sudah ada.
Kalau begitu, nyatalah akan wujudnya Allah S W T . Mustahil ALLAH SWT tidak
wujud sedangkan alam ini; sudah ada. Dan wujudnya ALLAH SWT itu adalah
wujud" yang tidak ada permulaan kerana mustahil berlakunya daur dan
tasalsul pada ALLAH SWT. Dengan yang demikian juga, nyatalah ALLAH SWT wajib
bersifat Qidam.
Demikianlah bahasan kita secara akal atau secara aqli bagi menunjukkan bahawa
ALLAH SWT wajib bersifat Qidam. Atau wajib ALLAH SWT bersifat sedia yang tidak
ada permulaan atau yang tidak didahulu oleh tiada.
Dalil Naqli
Kemudian kalau kita lihat pula di dalam Al Quran yang merupakan sumber kepada
dalil naqli, ALLAH telah memberitahu kita dalam firman-Nya:
DIA-lah Tuhan yang awal tapi tiada permulaan dan yang akhir tapi tiada
kesudahan. (Al Hadid: 3)
Jadi, kalau tadi kita telah tetapkan melalui perbahasan akal tentang bukti yang
menunjukkan bahawa wajib ALLAH SWT bersifat Qidam, maka kebenaran itu
ditegaskan sendiri oleh ALLAH SWT di dalam Al Quran. Penegasan ini adalah
penegasan yang paling tepat dan paling layak kita terima sebagai keyakinan yang
padu dan bulat. Kalau kita tidak yakin dengan penegasan ALLAH di dalam kitab
yakni Al Quran, ertinya kita tidak yakin pada kitab sedangkan yakin pada kitab
adalah salah satu daripada Rukun Iman yang enam.
Kalau salah satu sahaja daripada Rukun Iman yang enam itu cacat, maka cacatlah
iman kita. Dan apabila cacat iman, kita akan jatuh kepada murtad. Kerana itu
hendaklah kita berhati-hati dalarn soal-soal yang membawa kepaca cacatnya iman
kerana kalau satu perkara saja yang kita tolak pun, maka akan gugurlah
semuanya. Maknanya kita telah murtad. Hukum bagi orang yang murtad ialah kafir
dan kalau mati dalam keadaan demikian, kekal abadilah dia di dalam Neraka.
Wal'iyazubillah.
Jadi, untuk membawa kepada murtad atau kafir ini, cukup kalau sebahagian kecil
saja daripada Al Quran itu kita tolak. Walaupun ada sebahagian besar yang lain
kita percaya dan kita yakini malab kita amalkan pula, namun semuanya sudah
tidak diiktiraf lagi oleh ALLAH SWT. Kerana mengikut kaedah yang telah
ditetapkan oleh ulama di segi syariat Islam, kufur dengan sebahagian kecil saja
daripada isi kitab bermakna kufur dengan seluruh isi kitab iaitu Al Quran.
Kaedah ulama yang telah diutarakan kepada kita itu berbunyi:
Menyebut sebahagian kecil (isi Al Kitab) itu bermaksud keseluruhannya.
Sebab itulah, Al Quran dan juga kitab-kitab yang pernah ALLAH turunkan sebelum
Al Quran yang betul dan yang tidak diubah-ubah oleh manusia, hendaklah kita
percaya semuanya walaupun kitab-kitab yang diturunkan sebelum Al Quran itu
tidak kita amalkan lagi kerana sudah dimansuhkan oleh Al Quran. Namun kita
mesti percaya kepada semuanya iaitu Zabur, Taurat dan Injil dan lebih-lebih
lagilah Al Quran yang bukan saja kita percaya dan yakini tetapi wajib pula kita
amalkan setiap aspek dan setiap sudut yang ada di dalamnya. Ini telah
diingatkan oleh ALLAH SWT kepada kita di dalam Al Quran dengan firman-Nya:
Wahai orang-orang beriman, musuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya. (Al
Baqarah: 208)
Jadi setiap isi Al Quran itu mengandungi kehidupan di segi syariat Islam sama
ada aqidahnya, akhlaknya, kemasyarakatannya, rumahtangganya, ekonominya,
pergaulannya, perjuangan dan jihadnya atau apa saja hinggalah kepada persoalan
bemegara sekalipun, semuanya mesti kita terima. Jangan ada satu bahagian pun
yang kita tolak. Kalau ada sebahagian kecil saja yang kita tolak, katalah
sepotong ayat saja, maka itu pun sudah cukup untuk membawa kita kufur kepada
seluruh isi Al Quran, berdasarkan kaedah tadi.
Kalau kita fahami benar-benar akan kaedah ini dan kemudian kita suluh kepada
diri dalam kehidupan setiap hari seperti dalam sikap kita, percakapan kita dan
juga perbuatan dan usaha ikhtiar kita, nanti akan terdapat perkara-perkara yang
ALLAH ceritakan di dalam Al Quran yang menjadi tandatanya kepada kita atau yang
menimbulkan keraguan kita dan sebagainya. Malah kadang-kadang ada
perkara-perkara yang kita tidak yakin.
Mungkin, kalau perkara-perkara yang ALLAH ceritakan di dalam Al Quran itu masuk
di dalam lojik akal kita seperti ALLAH perintahkan kita makan dan minum, ALLAH
perintahkan kita mengembara dan berjalan-jalan di merata pelosok bumi dan
perintah-perintah yang seumpamanya yang sesuai dengan akal dan fitrah kita,
tentu agak mudah kita menerimanya. Malah kita begitu meyakininya dan mahu
mengamalkannya di dalam kehidupan kita sehari-hari.
Tetapi, bagaimana pula dengan cerita-cerita ALLAH yang tidak boleh kita
lojikkan dengan akal fikiran kita seperti kita ambil satu contoh fir-man ALLAH
di dalam Al Quran dengan ayat yang selalu kita kemukakan supaya kita dapat
memahami benar-benar perbahasannya seperti yang telah dibentangkan oleh Imam
Al-Ghazali rahimahullahu Taala. Ayat itu berbunyi:
Barang siapa yang bertaqwa kepada ALLAH, nescaya ALLAH akan lepaskan ia
daripada sebarang kesusahan dan kepicikannya, dan ALLAH akan memberi dia rezeki
dari sumber yang dia tidak mengetahuinya. (Ath Thalaq: 2-3)
Ada tiga perkara yang ALLAH ceritakan di dalam ayat ini. Pertama ALLAH
menghendaki kita bertaqwa. Kemudian yang kedua, apabila kita telah tunaikan
syarat itu dalam ertikata melaksanakan setiap suruhan ALLAH sungguh-sungguh
sama ada yang fardhu mahupun yang sunat dan menjauhi larangan-Nya benar-benar
sama ada yang haram mahupun yang makruh, maka kata ALLAH sebagai balasan dari
itu, kita akan dilepaskan daripada sebarang kesusahan dalam kehidupan ini. Dan
yang ketiganya, natijah dari kita bertaqwa itu, ALLAH juga akan memberi kita rezeki
dari sumber-sumber yang kita sendiri tidak mengetahuinya. Ertinya, apa saja
yang menjadi keperluan kita seperti makan minum yang sekadar perlu, keperluan
rumahtangga yang sekadar perlu dan sebagainya, semua ini tetap ALLAH jaminkan
asalkan kita bertaqwa kepada ALLAH SWT.
Malah, kalau kita lihat perbahasan Imam Ghazali r.t. dengan lebih terperinci
lagi, katanya, kalau seseorang itu tidak melakukan sebarang usaha ikhtiar
sekalipun seperti tidak berusaha mencari rezeki dan sebagainya, tetapi dia
bertaqwa kepada ALLAH dalam ertikata melaksanakan setiap kerja ALLAH, baginya
tetap ada jaminan makan minumnya yang perlu, keperluan rumahtangganya yang
perlu dan lain-lainnya. Tentulah hal ini susah hendak kita terima kerana memang
sudah selama ini kita dididik dan ditanamkan dengan fikiran bahawa setiap apa
yang kita mahukan mesti kita lahirkan. Hati kita tentu akan berkata, "Mana
jadi hidup ini hanya dengan bertaqwa saja."
Jadi cerita-cerita yang ALLAH firmankan di dalam Al Quran yang susah hendak
dilojikkan dengan akal, memang susah hendak diterima oleh kebanyakan kita hari
ini kerana dalam pengalaman kita hari-hari, kita sudah selalu sangat dibawakan
dengan hal-hal yang ada hubungan dengan lojik akal. Sedangkan di dalam Al
Quran, tidak semuanya boleh kita lojikkan dengan akal fikiran.
Di sini letaknya persimpangan jalan di antara kata-kata "orang
banyak" dengan kata-kata "orang sedikit". Perkaraperkara yang
tidak dapat dilojikkan dengan akal yang ALLAH ceritakan di dalam Al Quran,
menjadi garis pemisah di antara "orang banyak" dengan "orang
sedikit".
Umpamanya, "orang banyak" begitu yakin dan percaya yang kalau umat
Islam ini mahu maju, mahu berdaulat serta mahu kuat, kekuatan lahir seperti
yang diusahakan oleh orangorang kafir mesti dicari. Kalau orang kafir ada
kekuatan ekonomi, umat Islam juga mesti mengejar kekuatan ekonomi. Kalau orang
kafir ada kekuatan tentera, umat Islam juga mesti mencari kekuatan tentera.
Kalau orang kafir ada kekuatan politik, umat Islam juga mesti mencari kekuatan
politik. Kalau orang kafir ada kekuatan sains dan teknologi, umat Islam juga
mesti mengejar kekuatan sains dan teknologi. Dan begitulah seterusnya dalam
kekuatan-kekuatan lahir yang lainnya. Semua sekali umat Islam mesti cari kalau
hendak maju dan kuat serta berdaulat.
Inilah yang menjadi keyakinan dan pegangan bagi "orang banyak".
Sebaliknya, "orang sedikit" meyakini dan mempercayai apa yang telah
disyaratkan oleh ALLAH SWT kepada umat Islam iaitulah sepertimana yang ALLAH
sebut di dalam ayat tadi. Syaratnya, umat Islam mesti bertaqwa. Kemudian
soal-soal yang lain, ALLAH akan selesaikan. Ertinya, perkara- perkara yang lain
akan datang atau lahir dengan sendirinya seperti kekuatan ekonomi akan lahir,
kekuatan politik akan lahir, kekuatan tentera akan lahir dan sebagainya. Kerana,
semua itu datangnya dari pertolongan ALLAH SWT.
Tetapi inilah yang amat susah hendak diyakini oleh "orang banyak".
Sebab itu peraturan yang telah ALLAH syaratkan untuk mendapat pembelaan dari
ALLAH SWT di apa bidang sekalipun melalui jalan taqwa tadi telah ditolak oleh
mereka. Hari ini "orang banyak" lebih yakin dengan cara yang telah
dilakukan oleh orang kafir iaitu, umat Islam mesti cari kekuatan lahir kalau
hendak maju jaya dan sebagainya. Insya-ALLAH, apa yang diyakini oleh
"orang banyak" ini tidak akan membuahkan hasil. Mereka boleh buat apa
saja untuk mendapatkan kekuatan lahir itu, namun umat Islam tidak juga akan
memperolehi kejayaan dan kemajuan.
Buktinya dapat kita lihat pada kehidupan umat Islam di dunia hari ini. Hari
ini, ada sesetengah umat Islam sudah hidup bebas dan merdeka di negara
masing-masing. Kita juga di negara ini sudah merdeka lebih 30 tahun. Nisbah
sesebuah negara itu hendak mengusahakan kekuatan lahir walau di bidang apa
sekalipun, dalam masa 30 tahun, 40 tahun atau 50 tahun yang sudah, kita percaya
sehingga hari ini sudah tentu kekuatan itu sudah diperolehi. Kerana kita dapat
saksikan betapa negeri Jepun yang begitu teruk dengan berbagai kemelesetan
dalam tahun 50-an dulu, kini dalam tempoh lebih kurang 30 tahun saja, ia sudah
menjadi gergasi dunia di kebanyakan bidang. Ertinya, dalam tempoh yang singkat
itu, Jepun sudah berjaya mendapatkan kekuatan lahir.
Tetapi umat Islam di sesetengah Negara Islam yang sudah merdeka lebih lama dari
itu, hingga hari ini, belum mempunyai satu pun kekuatan lahir yang dapat
dibanggakan. Belum ada satu Negara Islam yang kuat sama ada di bidang ekonomi,
di bidang sains dan teknologi, dan sebagainya. Inilah akibat dari umat Islam
begitu mengejar kekuatan lahir hingga sanggup meninggalkan taqwa. Akhimya
sedikit pun ALLAH tidak memberi bantuan. Umat Islam telah tertipu dengan
kekuatan yang ada pada orang kafir. Sedangkan ALLAH telah peringatkan di dalam
Al Quran dengan firman-Nya:
Maka janganlah sekali-kali kesenangan kehidupan dunia menipu dayakan kamu.
(Fathir: 5)
Jadi, jalan yang telah diyakini oleh "orang banyak" adalah jalan yang
tidak disunnahkan oleh ALLAH SWT. Jalan yang disunnahkan oleh ALLAH kepada
orang Islam ialah melalui taqwa, manakala jalan yang ditunjukkan oleh ALLAH
kepada orang kafir ialah melalui 'kekuatan lahir'. Umat Islam mesti mengikut
jalan yang telah ALLAH tunjukkan kepadanya dan bukan yang telah ditunjukkan
kepada orang kafir. Iaitu umat Islam mesti usahakan taqwa untuk mendapat
pembelaan dari ALLAH SWT. Perhatikanlah bagaimana janji ALLAH, kalau ini dapat
diusahakan. Firman-Nya:
Kalau penduduk di sesebuah kampung itu beriman dan bertaqwa, nescaya ALLAH akan
bukakan keberkatan dari langit dan bumi. (Al A'raf: 96)
Dua syarat saja yang ALLAH kehendaki dari umat Islam iaitu beriman dan
bertaqwa. Dengan itu ALLAH akan bukakan keberkatan dari pintu langit dan bumi.
Berkat itu ialah dengan timbulnya perpaduan, timbul ukhuwah, timbul kemajuan,
timbul rasa takut dari musuh, timbul kekuatan dan lain-lainnya. Ertinya, dengan
mengusahakan iman dan taqwa, pembalasan dari ALLAH begitu banyak sekali. Dengan
beriman dan bertaqwa, kekuatan lahir akan datang dengan sendirinya.
Dengan itu, kembali kita kepada perbahasan yang menunjukkan bahawa wajib ALLAH
SWT itu bersifat Qidam, . dalil yang tepat dan dalil yang wajib kita terima
ialah apabila ALLAH mengatakan di dalam Al Quran:
----------------------------------
A. Arti Qidam.
Arti Qidam secara harfiyah adalah yang terdahulu, secara ma'any arti Qidam
terbagi kepada3 pengertian
1. Qidam Idlofi, lamanya sesuatu karena disandarkan kepada yang lain, seperti
ayah Qidam kalau disandarkan kepada anak, tetapi kalau disandarkan kepada
kakek, ayah tidak Qidam.
2. Qidam Zamani, lamanya sesuatu karena memang sudah lama zamannya tetapi
didahului dengan tidak ada, seperti Qidamnya alam semesta.
3. Qidam Dzati, lamanya sesuatu tidak diawali dengan tidak ada, tidak bersandar
kepada adanya yang lain dan tidak terikat zaman, yakni Qidamnya Allah SWT.
Qidamnya Allah SWT, tidak terkurung zaman karena menurut para ‘Ulama Ushuluddin
yang disbeut zaman adalah
مُقَا رَنَةُ مُتَجَدِّدٌ مَوْهُوْمٌ لِمُتَجَدِّدٍ
مَعْلُوْمٍ اِزَالَةً لِلاِ بْهَا مِ
Artinya : Menyertainya sesuatu yang baru, yang masih negatif, kepada sesuatu
yang baru yang adanya positif, demi untuk menghilangkan keabstrakan yang ada.
Berdasarkan dari ta'rif tersebut di atas, jelaslah bahwa Allah SWT, tidak
terikat zaman, Allah SWT. Adalah Dzat Yang Qodim, Maha Tunggal, Allah SWT.
Wahdahu La Syarika Lah, tidak ada yang menyertainya.
Oleh sebab itu maka tercabut dari Maqulat Mata, yakni bahasa yang menunjukan
kepada zaman, seperti sekarang, kemarin, dahulu besok, bulan, tahun dan lain
sebagainya, maka tidak sah pertanyaan : sejak kapan adanya Allah SWT. ?, sampai
kapan dia berada ? dan sebagainnya.
B. Kata Qodim dan Azali
Ada dua perkataan yang berkaitan dengan Qidam, yaitu Qodim dan Azali, yang
pengertian dan hubungannya dengan Qidam para ‘Ulama berpendapat :
1. Perkataan Qodim dipergunakan untuk sesuatu yang ada dan adanya tidak ada
permulaan dan tidak terkait zaman, maka yang disebut Qodim adalah Dzat Allah
SWT. Dan sifat Ma'ani di Allah SWT. Perkataan Azali, dipergunakan untuk yang
tidak ada permulaan, maka yang disebut Azali adalah Allah SWT. Dan semua sifat
Allah SWT.
2. Perkataan Qodim, hanya digunakan untuk yang tidak ada permulaan dan tidak
membutuhkan kepada yang lain maka perkataan Qodim hanya untuk Dzat Allah SWT,
tidak kepada sifatnya, karena sifat membutuhkan kepada Dzat. Perkataan Azali,
untuk yang tidak ada permulaan, baik berdiri sendiri atau bersandar kepada yang
lain, maka perkataan Azali adalah untuk Dzat Alloh SWT, dan seluruh
sifat-sifatNya.
3. Perkataan Qodim dan Azali, sasarannya sama, untuk yang tidak ada permulaan,
maka seluruh sifat Allah SWT. Dan Dzat Allah SWT. Bisa disebut Qidam bisa pula
disebut Azali.
C. Dalil ‘Aqli Sifat Qidam
Dalil ‘Aqli (logika) yang menunjukan kepada Qidamnya Allah SWT, adalah ;
Apabila Allah tidak Qidam, maka pasti adanya Allah didahului dengan tidak ada,
sedangkan proses dari tidak ada kepada ada, pasti memerlukan kepada yang
mengadakan (pencipta). Andaikan yang menciptakan Allah itu adalah Allah yang
kedua, maka Allah yang keduapun pasti tidak Qidam, sebab keberadaannya tentu
akan membutuhkan pencipta lagi seperti Allah yang pertama, kalau diperkirakan
Allah yang kedua itu adalah Allah yang pertama maka pasti menimbulkan problema
Daor, yakni perkara yang pertama menunggu kepada yang kedua dan yang keduapun
menunggu yang pertama. Hal seperti ini adalah mustahil wujud (tidak mungkin
adanya). Kalau diperkirakan lagi bahwa pencipta Allah yang ketiga, yang ketiga
diciptakan oleh yang ke empat dan terus berkelanjutan tanpa ada akhirnya makan
akan terjadi proses Tasalsul yakni proses berantai yang tiada ber-kesudahan,
hal ini adalah mustahil wujud seperti Daor. Oleh karena proses Daor. Oleh
karena proses Daor dan Tasalsul adalah mustahil maka tetaplah bahwa Allah itu
Qidam.
Kebenaran dalil ‘Aqli tersebut diperkuat dengan firman Allah dalam al-Qur'an
surat 21. al-Anbiya ayat 22 :
لَوْكَانَ فِيْهِمَا اَلِهَةٌ اللهُ لَفَسَدَ تَا .....
الانبياء
Artinya : Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah,
tentulah keduanya itu telah Rusak binasa. Maka Maha suci Allah yang mempunyai
'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.
Sekarang Langit dan Bumi tersaksi ada, ini merupakan tanda yang positif kepada
tidak adanya lagi Tahun selain Allah.
Dalil Naqli
Sifat Qidam.
Firman Allah
dalam surat 57, al-Hadid ayat 3 :
— هُوَ الاَ وَّلُ وَالاَ خِرُ وَاظَّهِرُ وَالْبَاطِنُ
وَهُوَ بِكُلّ ِشَيْ ءٍ عَلِيْمu
Artinya : Dialah
yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin]; dan Dia Maha mengetahui
segala sesuatu
Pengertian
Dalil dan Naqid
Meyakinkan
kepada sifat Qidam Allah belum cukup untuk mengesakan seseorang bisa disebut
Mukmin, sebelum meyakinkan kepada mustahilnya allah tidak Qidam dan harus pula
meyakinkan barunya alam semesta, sebagai kebalikan dari Qidamnya Allah. Istilah
kebalikan dalam bahasan Aran disebut dengan dua kata, yaitu Dalil dan Naqid
yang terjemahnya dalam bahasa Indonesia adalah sama yaitu Berlawanan, padahal
dalam ma'nanya adalah berbeda :
Dalil, maknya
adalah : dua materi kata yang berlawanan, yang tidak bisa kumpul namun
kedua-duanya bisa hilang, seperti hitam dan putih, kedua-duanya tidak bisa
bersatu dalam satu titik tapi bisa hilang dua-duanya, umpanya diganti dengan
warna lain, atau seperti panjang dan pendek ada pertengahannya.
Naqid,
ma'nanya adalah : Dua materi kata yang berlawanan yang tidak bisa berkumpul dan
tidak bisa hilang dua-duanya. Seperti siang dan malam, tidak bisa ya siang ya
malam, kalau tidak siang pasti malam kalau tidak malam tentu siang, tidak ada
pihak ketiga sebagai penggantinya, malam tidak siangpun tidak.
Dalam istilah
ilmu tauhid, Dalil itu berarti Naqid yakni bila ditetapkan sesuatu, maka
kebalikannya harus hilang, seperti Allah wajib kuasa maka mustahil allah tidak
kuasa, tidak bisa dikatakan terkadang kuasa, terkadang lemah.
---------------------------------
Tgk. Azhariadi