1. Apakah daur itu? Dan mengapa mustahil adanya?
Maksud dari daur adalah sesuatu sebagai sebab bagi
dirinya sendiri dengan satu atau beberapa perantara. Daur terbagi menjadi dua
bagian: 1. Daur sharih. 2. Daur mudhmar. Sesuatu yang hanya memiliki
satu perantara menjadi sebab bagi dirinya sendiri disebut sebagai daur langsung (daur
sharih), sementara yang membutuhkan banyak perantara disebut sebagai daur
tak langsung atau tersembunyi (daur mudhmar).
Dengan demikian asumsi bahwa A adalah sebab bagi B dan B sebagai
sebab bagi A merupakan contoh daur langsung. Sedangkan contoh dari daur tak
langsung sebagai berikut, A sebab bagi B, B sebab bagi C, C sebab bagi D dan D
sebab bagi A. Kemustahilan daur, dalam bentuk apapun merupakan hal yang jelas
dan nyata.
Atau dengan kata lain, daur adalah masing-masing dari kedua
fenomena kita anggap sebagai sebab bagi yang lainnya; misalnya, tatkala menilik
sebuah fenomena yang bernama “A”, keberadaannya dalam sebuah lingkaran dimana
sebelumnya fenomena “B” telah terwujud. Dan fenomena “A” merupakan maujud yang
diwujudkannya dan demikian juga sebaliknya; artinya ketika kita menilik
fenomena yang bernama “B” dan kita melihat keberadaannya berada dalam lingkaran
dimana sebelumnya “A” telah teruwujud sehingga ia dapat menerima keberadaan
darinya.
Hipotesa seperti ini adalah batil secara akal, lantaran keberadaan
dan eksistensi keduanya, bergantung kepada keduanya dan lantaran tidak
satu pun syarat dari keduanya yang tersedia, maka kesimpulan yang dapat diambil
dari persyaratan semacam ini adalah keduanya masing-masing tidak terwujud.
Anggaplah, dua orang ingin mengangkat sebuah beban dan
masing-masing, mengangkat sudut beban tersebut dan membawanya, mensyaratkan
orang lain sebelum dirinya telah mengangkat dan membawa beban itu, dalam
keadaan ini sekali-kali beban tersebut tidak pernah akan terangkat. Lantaran
tidak terdapat syarat yang menentukan dari kedua orang tersebut untuk
mengangkat beban itu.
Hakikat daur tidak lain adalah masing-masing keberadaan
dari kedua peristiwa bergantung kepada wujud sebelumnya. Dan karena keduanya
tidak memiliki wujud sebelumnya, tentu saja asumsi dan hipotesa semacam ini
tidak pernah akan terwujud.
2. Apakah tasalsul itu? Dan mengapa ia batil?
Pengertian tasalsul dalam hal ini adalah satu rangkaian yang tak
terbatas dari sebab-sebab dan akibat-akibat dimana tak akan pernah berhenti
pada sebab pertama, dengan ungkapan yang sederhana, tasalsul ialah
wujud (A) yang merupakan akibat dari wujud (B) dan wujud (B) sebagai akibat
dari wujud (C) dan juga wujud (C) adalah akibat dari wujud (D) dan seterusnya
dan rangkaian ini terus berlanjut hingga tak terbatas dan tak berakhir.
Berdasarkan teori kemustahilan tasalsul, bentuk rangkaian seperti itu
adalah batil. Sebagian filosof beranggapan bahwa kemustahilan tasalsulmerupakan
hal yang jelas, gamblang dan badihi. Dan sebagian filosof yang lain
membangun argumentasi rasional untuk menggugurkan tasalsul tersebut.
Dengan kata lain, tasalsul adalah rangkaian sebab dan
akibat yang tidak terbatas dan tidak berujung kepada satu titik dimana yang ada
pada titik tersebut hanyalah sebab saja, bukan akibat. Asumsi semacam ini
seperti yang telah kami jelaskan pada daur juga mustahil adanya
(tercegah ataumumtani’).
Karena dalam asumsi tasalsul, peristiwa akhir merupakan akibat
(ma’lul) darinya dan akibat tersebut juga merupakan akibat dari peristiwa atau
fenomena sebelumnya dan demikian seterusnya.
Oleh karena itu, peristiwa pertama yang kita hadapi bergantung dan
bersyarat kepada sebuah peristiwa kedua yang telah ada sebelum akibat tersebut.
Dan demikian juga peristiwa atau fenomena kedua bersyarat kepada adanya
peristiwa ketiga sebelumnya; demikian seterusnya, semakin kita melaju
sekali-kali kita tidak pernah akan sampai kepada sebuah peristiwa dimana wujud
dan keberadaannya tidak bergantung kepada persyaratan sebelumnya.
Akan tetapi keadaan ini berlanjut hingga mencapai titik tanpa
batas, dalam keadaan seperti ini, kita tidak hanya berhadapan dengan satu
peristiwa– secara hipotikal – yang tidak terwujud, melainkan tidak satu pun
dari bagian rangkaian kumpulan keberadaan ini dapat kita saksikan. Karena
tatkala kita teliti masing-masing dari peristiwa, sesuai dengan bahasa keren
hari ini: Aku memiliki wujud dan keberadaan sepanjang maujud yang ada sebelumku
juga memiliki wujud dan keberadaan.
Kita bertanya kepada maujud sebelumnya, ia juga berkata: “Aku
menerima keberadaan dan wujud sepanjang maujud sebelumku juga memliki wujud dan
keberadaan dan lantaran tidak satu pun dari peristiwa yang tidak bersyarat, di
tengah-tengah rangkaian dan silsilah ini, kita tidak akan sampai kepada
keberadaan dimana terwujudnya peristiwa tersebut bersyarat kepada keadaan tanpa
syarat. Dan tentu saja silsilah seperti ini sekali-kali tidak akan memiliki
warna keberadaan dan wujud.
Kini apabila terdapat wujud di tengah-tengah peristiwa tersebut
yang berkata bahwa keberadaanku tidak bergantung kepada maujud sebelumku,
dalam keadaan seperti ini, ia akan menjadi keberadaan dan wujud mutlak dan
tidak perlu kepada sebab dan dalam istilahnya ia akan menjadi wajib al-wujud.
Kesimpulannya, silsilah akan terputus dan tidak akan ada tasalsul.
Dalam masalah “mengangkat beban”, apabila orang pertama, ia
mensyaratkan kepada orang kedua, mitra kerjanya, dan orang kedua mensyaratkan
kepada orang ketiga, mitra kerjanya dan kemitraan bersyarat ini akan berlanjut
hingga tanpa batas. Dan di antara mereka tidak ditemukan mitra kerja yang tidak
memberikan persyaratan, maka kemitraan ini tidak akan pernah terlaksana, karena
tidak ada persyaratan kemitraan yang diikat di antara mereka.
Akan tetapi apabila tidak sesuai dengan harapan, kemitraan ini
terlaksana, tentu saja kita akan temukan, dalam lingkaran ini, seorang ksatria
yang tidak mensyaratkan bantuannya dan mengangkat beban tersebut dan yang
lainnya dengan memperhatikan terwujudnya persyaratan, ia memulai kemitraannya
dan mengangkat beban itu; dengan kata lain, apabila silsilah atau rangkaian
sebab dan akibat terjadi, maka kita akan memahami bahwa silsilah ini sampai
kepada sebuah titik dimana wujud dan keberadaannya tidak bergantung dan
bersyarat kepada “jika” dan wujud itu adalah wajib al-wujud dan wujud mutlak
dan apabila silsilah itu tidak berujung kepada titik seperti ini dan silsilah
ini seluruhnya bersyarat, maka ia tidak akan sampai kepada satu pun dari
lingkaran wujud dan keberadaan. Inilah makna dan arti dari daur dan tasalsul dan
atas alasan inilah mengapa keduanya mustahil.
Akan tetapi penjelasan ilmiah ini dan pada saat yang sama adalah
sederhana, dapat dijelaskan kepada orang-orang ihwal realitas dari kedua
pahaman ini dan sebab kemustahilan keduanya, sementara pembahasan tentang “daur dan tasalsul”
merupakan perkara yang pelik dan rumit filsafat, melebihi dari apa yang kami
jelaskan di sini.
Shadra al-Mutallihin dalam kitabnya al-Asfar dan Mullah
Hadi Sabzawari dalam Syarh Manzhumahmenyuguhkan beberapa argumen dan
burhan atas kemustahilan tasalsul dimana ghalibnya argumen-argumen
tersebut tertolak dalam pandangan kami. Di antara argumen yang ada,
satu-satunya penjelasan yang paling jelas dan terang adalah penjelasan yang
disampaikan oleh Allamah Thaba-thaba’i:
“Alam kontingen (imkan) mirip dengan makna-makna huruf di antara
makna-makna tersebut pasti terdapat makna nomina (isim) yang bersandar
kepadanya dan memperlihatkan dirinya dan silsilahillat (sebab) dan ma’lul (akibat)
dalam bentuk tak-terbatas tanpa ujung bermuara kepada Wâjib sama dengan
serangkaian makna-makna huruf tanpa batas tak akan terwujud tanpa adanya
makna-makna nomina (isim).
Tgk. Azhariadi