Abuya Muda Waly

Profil Sheikh Muda waly al Khalidy An Naqsyabandy Al Asyiy


Syeikh Muda Waly Al khalidy dilahirkan diDesa Blang poroh,kecamatan Labuhan Haji, kabupaten Aceh Selatan, pada tahun 1917.Beliau adalah putra bungsu dari Sheikh H.Muhammad Salim bin Malin Palito.Ayah beliau berasal dari Batu sangkar, Sumatra Barat. Beliau datang ke Aceh Selatan selaku da`i. Sebelumnya paman beliau yang masyhur dipanggil masyarakat Labuhan Haji dengan Tuanku Pelumat yang nama aslinya Sheikh Abdul Karim telah lebih dahulu menetap di Labuhan Haji.

Tak lama setelah Sheikh Muhammad salim menetap di Labuhan Haji, beliau dijodohkan dengan seorang wanita yang bernama Siti Janadat, putri seorang kepala desa yang bernama Keuchik Nya` Ujud yang berasal dari Desa Kota Palak, Kecamatan Labuhan Haji, Aceh Selatan. Siti Janadat meninggal dunia pada saat melahirkan adik dari Sheikh Muda Waly. Beliau meninggal bersama bayinya. Syekh Muhammad salim sangat menyayangi Sheikh Muda Wali melebihi saudaranya yang lain. Kemana saja beliau pergi mengajar dan berda`wah Sheikh Muda Waly selalu digendong oleh ayahnya. Mungkin Sheikh Muhammad Salim telah memiliki firasat bahwa suatu saat anaknya ini akan menjadi seorang ulama besar, apalagi pada saat Sheikh Muda Waly masih dalam kandungan, beliau bermimpi bulan purnama turun kedalam pangkuannya .

Nama Syeikh Muda Waly pada waktu kecil adalah Muhammad Waly. Pada saat beliau berada di Sumatra Barat, beliau dipanggil dengan gelar Angku Mudo atau Angku Mudo Waly atau Angku Aceh. Setelah beliau kembali ke Aceh masyarakat memanggil beliau dengan Teungku Muda Waly. Sedangkan beliau sering menulis namanya sendiri dengan Muhammada Waly atau lengkapnya Syekh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy.

Perjalanan pendidikannya
Syekh Muda Waly belajar belajar A-Qur an dan kitab-kitab kecil tentang tauhid, fiqih, dan dasar ilmu bahasa arab kepada ayahnya. Disamping itu beliau juga masuk sekolah Volks-School yang didirikan oleh Belanda. Setelah tamat sekolah Volks School, beliau dimasukkan kesebuah pesantren di ibu kota Labuhan Haji ,Pesantren jam`iah Al-Khairiyah yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Ali yang dikenal oleh masyarakat dengan panggilan Teungku Lampisang dari Aceh Besar sambil beliau sekolah di Vervolg School. Setelah lebih kurang 4 tahun beliau belajar di pesantren Al-Khairiyah beliau diantarkan oleh ayahnya ke pesantren Bustanul Huda di ibu kota kecamatan Blangpidie. Sebuah pesantren Ahlussunnah wal jama`ah sama seperti Pesantren Al-Khairiyah, yang dipimpin oleh seorang ulama besar yang datang dari Aceh Besar, Syekh Mahmud. Dipesantren Bustanul Huda, barulah beliau mempelajari kitab – kitab yang masyhur dikalangan ulama Syafi`iyah seperti I`anatut Thalibin, Tahrir, dan Mahally dalam ilmu fiqh, Alfiyah dan Ibn `Aqil dalam ilmu nahwu dan sharaf.

Setelah beberapa tahun di Pesantren Bustanul Huda, terjadilah satu masalah antara beliau dengan gurunya, Teungku Syekh Mahmud. Yaitu perbedaan perdapat antara beliau dengan gurunya tersebut tentang masalah berzikir dan bershalawat sesudah shalat didalam masjid secara jahar. Dikemudian harinya Syekh Muda waly ingin melanjutkan pendidikan kepesantren lainnya di Aceh Besar, tetapi sebelumnya, ayah syekh Muda Waly, Haji Muhammad Salim meminta izin kepada Syekh Mahmud, minta do`anya untuk dapat melanjutkan pendidikan kepesantren lainya dan yang terpenting meminta maaf atas kelancangan Syekh Muda Waly berbeda pendapat dengan gurunya dalam masalah tersebut.Berkali kali beliau dan ayahnya meminta ma`af kepada Syekh Mahmud tetapi beliau tidak menjawabnya. Pada akhirnya setelah beliau kembali dari Sumatra Barat dan Tanah suci Makkah, maka timbullah kasus di kecamatan Blang Pidie. Ada seorang ulama dari kaum Muda dari PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang bernama Teungku Sufi, mendirikan Madrasah Islahul Umum di Susuh, Blang Pidie, berda`wah dan membangkitkan masalah –masalah khilafiyah. Dalam satu perdebatan terbuka diibukota kecamatan Blang Pidie, dia mengungkapkan dalil dan alasannya sehingga hampir kebanyakan ulama termasuk Teungku Haji Muhammad Bilal Yatim dapat dikalahkan. Tetapi pada waktu giliran perdebatan Teungku Sufi tersebut dengan Syekh Muda Waly semua dalil dan alasannya beliau tolak, beliau hancurkan tembok-tembok alasannya sehingga kalah total didepan umum. Tak lama setelah itu barulah Syekh Mahmud mema`afkan kesalahan Syekh Muda Waly yang berani berbeda pendapat dengan gurunya tersebut pada waktu masih belajar di Bustanul Huda.

Setelah beberapa tahun belajar di Bustanul Huda, beliau mengungkapkan niatnya untuk melanjutkan pendidikannya kepesantren di Aceh Besar kepada ayahnya, Syekh H.Muhammad Salim. Ayah beliau sangat senang mendengarkan niat beliau. Apalagi Syekh H.Muhammad Salim telah mengetahui bahwa putranya ini telah menamatkan kitab-kitab agama yang dipelajari di Pesantren Bustanul Huda.
Sebagai bekal dalam perjalanan beliau dari Labuhan Haji, ayahanda beliau memberikan sebuah kalung emas yang lain merupakan milik kakak kandung Syekh Muda Waly, yaitu Ummi Kalsum. Beliau diantar oleh ayahanda beliau dari desanya sampai ke kecamatan Manggeng. Setelah sampai ke Manggeng, ayahanda beliau berkata ”Biarkan aku antarkan engkau sampai ke Blang Pidie”. Sesampainya di Blang Pidie, Syekh Muhammad Salim berkata kepada putranya, Syekh Muda Waly ”biarkan aku antarkan engkau sampai ke Lama Inong”. Pada kali yang ketiga ini Syekh Muda Waly merasa keberatan, karena seolah olah beliau seperti tidak rela melepaskan anaknya merantau jauh untuk menuntut ilmu. Syekh Muda Waly berangkat ke Aceh Besar ditemani seorang temannya yang juga merupakan tamatan dari pesantren Busranul Huda,namanya Teungku Salim, beliau merupakan seorang yang cerdas dan mampu membaca kitab-kitab agama dengan cepat dan lancar.

Sesampainya di Banda Aceh, beliau berniat memasuki Pesantren di Krueng Kale yang dipimpin oleh Syekh H.Hasan Krueng Kale, ayahanda dari Syekh H.Marhaban, menteri muda pertanian Indonesia para masa Sukarno. Beliau sampai di Pesantren Krueng kale pada pagi hari,pada saat syekh Hasan Krueng Kale sedang mengajar kitab-kitab agama. Diantara kiatb yang dibacakan adalah kitab Jauhar Maknun. Syekh Muda Waly mengikuti pengajian tersebut. Sebelum Dhuhur selesailah pembacaan kitab tersebut, dengan kalimat terakhir Wa huwa hasbi wa ni`mal wakil. Setelah selesai pengajian Syekh Muda Waly merasa bahwa syarahan syarahan yang diberikan oleh Syekh Hasan Krueng Kale tidak lebih dari pengetahuan yang beliau miliki dan apabila beliau membacakan kitab tersebut maka beliau juag akan sanggup menjelaskan seperti syarahan yang dipaparkan oleh Syekh Hasan Basri. Walaupun demikian beliau tetang menganggap Syekh Hasan KruengKale sebagai guru beliau. Bagi Syekh Muda Waly, cukuplah sebagai bukti kebesaran Syekh Hasan Krueng Kale, apabila guru beliau Syekh Mahmud Blang Pidie adalah seorang alumnus Pesantren Krueng Kale. Syekh Muda Waly hanya satu hari di Pesantren krueng Kale. Beliau bersama Tengku Salim mencari pesantren lain untuk menambah ilmu. Akhirnya merekapun berpisah.Pada saat itu ada seorang ulama lain di Banda Aceh yaitu Syekh Hasballah Indrapuri, beliau memiliki sebuah Dayah di Indrapuri. pesantren ini lebih menonjol dalam ilmu Al-Qur an yang berkaitan dengan qiraat dan lainnya. Syekh Muda Waly merasakan bahwa pengetahuan beliau tentang ilmu Al –Quran masih kurang. inilah yang mendorong beliau untuk memasuki Pesantren Indrapuri. Pesantren Indrapuri tersebut dalam simtem belajar sudah mempergunakan bangku, satu hal yang baru untuk kala itu. Pada saat mengikuti pelajaran, kebetulan ada seorang guru yang membacakan kitab-kitan kuning, Syekh Muda Waly tunjuk tangan dan mengatakan bahwa ada kesalahan pada bacaan dan syarahannya, maka beliau meluruskan bacaan yang benar beserta syarahannya. Dari situlah Ustad dan murid-murid kelas itu mulai mengenal anak muda yang baru datang kepesantren itu dan memiliki pengetahuan yang luas. Maka ustad tersebut mengajak beliau kerumahnya dan memerintahkan kepada pengurus pesantren untuk mempersiapakan asrama tempat tinggal untuk beliau, kebetulan sekali pada saat itu perbekalan yang dibawa Syekh Muda Waly sudah habis, maka dengan adanya sambutan dari pengurus pesantren tersebut beliau tidak susah lagi memikirkan belanja.

Pimpinan Pesantren Indrapuri tersebut,Teungku Syekh Hasballah Indrapuri sepakat untuk mengangkat Syekh Muda Waly sebagai salah satu guru senior di Pesantren tersebut.Semenjak saat itu Syekh muda Waly mengajar di pesantren tersebut tanpa mengenal waktu. Pagi, siang, sore dan malam semua waktunya dihabiskan untuk mengajar. Tinggallah sisa waktu luang hanya antara jam dua malam sampai subuh. Waktu waktu itupun tetap diminta oleh sebagian santri untuk mengajar. Selama tiga bulan beliau mengajar di Dayah tersebut.Karena padatnya jadwal beliau dan beliau kelihatan kurus, tetapi alhamdulillah walaupun demikian beliau tidak sakit.

Setelah sekian lamanya di Pesantren Indrapuri, datanglah tawaran dari salah seorang pemimpin masyarakat yaitu Teuku Hasan Glumpang payung kepada Syekh Muda Waly untuk belajar ke sebuah perguruan di Padang,Normal Islam School yang didirikan oleh seorang ulama tamatan Al-Azhar, Mesir Ustad Mahmud Yunus. Teuku Hasan tersebut setelah memperhatikan pribadi syekh Muda Waly, timbullah niat dalam hatinya bahwa pemuda ini perlu dikirim ke Al-Azhar, Mesir. Tetapi karena di Sumatra Barat sudah terkenal ada seorang Ulama yang telah menamatkan pendidikannya di Al Azhar dan Darul Ulum di Cairo, Mesir yang bernama Ustad Mamud Yunus yag telah mendirikan sebuah perguruan di Padang yang bernama Normal Islam School yang sudah terkenal kala itu melebihi perguruan perguruan sebelumnya seperti Sumatra Thawalib. Oleh sebab itu Teuku Hasan mengirimkan Syekh Muda Waly ke pesantren tersebut sebagai jenjang atau pendahuluan sebelum melanjutkanke al Azhar.

Berangkatlah Syekh Muda Waly menuju Sumatra barat dengan kapal laut. Beliau sama sekali tidak mengetahui tentang Sumatra Barat sedikit pun, dimana letak Normal Islam School dan kemana beliau harus singgah.tiba tiba saja ada seorang penumpang yang telah lama memperhatikan tingkah laku dan gerak gerik Syekh Muda Waly selama di kapal , bersedia membantu Syekh Muda Waly untuk bisa sampai ketempat yang beliau tuju.

Setelah sampai di Normal Islambeliau segera mendaftarkandiri di Sekolah tersebut. Lebih kurang tiga bulan beliau di Normal Islam dan akhirnya beliau mengundurkan diri dan keluar dengan hormat dari Lembaga pendidikan tersebut.Hal ini beliau lakukan dengan beberapa alasan :
1. Cita-cita melanjutkan pendidikan kemana saja termasuk ke Normal Islam dengan tujuan memperdalm ilmu agama, karena cita-cita beliau mudah-mudahan beliau menjadi seorang ulama seperti ulama ulama besar lainnya. Tetapi rupanya ilmu agama yang diajarkan di normal Islam amat sedikit.Sehingga seolah olah para pelajar disitu sudah dicukupkan ilmu agamanya dengan ilmu yang didapati sebelum memasuki pesantren tersebut.
2. Di normal Islam pelajaran umum lebih banyak diajarakan ketimbang pelajaran agama. Disana diajarkan ilmu matematika, kimia, biologi, ekonomi, ilmu falak, sejarah Indonesia, bahasa inggris. bahasa belanda, ilmu khat dan pelajaran olahraga.
3. Di normal Islam beliau harus menyesuaikan diri dengan peraturan peraturan di lembaga tersebut, Di situ para pelajar diwajibkan memakai celana, memakai dasi, ikut olah raga disamping juga mengikuti pelajaran umum diatas. Menurut hemat Syekh Muda Waly, kalau begini, lebih baik beliau pulang ke Aceh mengamalkan dan mengembangkan ilmu yang telah beliau miliki daripada menghabiskan waktu dan usia di Sumatra Barat.

Setelah beliau keluar dari Normal Islam, beliau bertemu dengan salah seorang pelajar yang juga berasal dari Aceh dan sudah lama di Padang yaitu Ismail Ya`qub, penerjemah Ihya `ulumuddin. Bapak Ismail Ya`qub menyampaikan kepada Syekh Muda Waly supaya jangan cepat cepat pulang ke Aceh, tetapi menetaplah dulu di Padang, barangkali ada manfaatnya.

Pada suatu sore beliau mampir untuk berjamaah maghrib di sebuah surau yaitu di Surau Kampung Jao. Setelah shalat maghrib kebiasaan disurau itu diadakan pengajian dan seorang ustaz mengajar dengan membaca kitab berhadapan dengan para jamaah. rupanya apa yang di baca oleh ustaz itu beserta syarahan yang di sampaikan menurut Syekh Muda Waly tidak tepat, maka beliau membetulkan.sehingga ustaz itu dapat menerima. sedangkan jamaah para hadirin bertanya-tanya tentang anak muda yang berani bertanya dan membetulkan pendapat ustaz itu.

Akhirnya para jamaah beserta ustaz tersebut meminta beliau supaya datang kesurau itu untuk menjadi imam solat dan mengajarkan ilmu agama. Begitulah dari hari ke hari, ayahku mulai dikenal dari satu surau ke surau yang lain, dan dari satu mesjid ke mesjid yang lain. Apalagi beliau bukan orang padang, tetapi dari daerah Aceh dan nama Aceh sangat harum dalam pandangan ummat islam Sumatra barat. Dan yang lebih mengagumkan lagi ialah kemahiran beliau dalam ilmi fiqh, tasawwuf, nahwu dan lain.

Barulah sejak itu beliau dipangil oleh masyarakat dengan Angku Mudo atau Angku Aceh. Pada masa itu pula sedang hangat-hangatnya di Sumatra Barat tentang masalah- masalah keagamaan yang sifatnya adalah sunat-sunat’ seperti masalah usalli, masalah hisab dalam memulai puasa Ramadan, hari raya ‘Id al–fitr dan lain lain. Terjadilah perdebatan antara kelompok kaum tua dengan kelompok kaum muda.

Syekh Muda Waly berasal dari Aceh dalam kelahiran, dan pendidikannya, tentu saja berpendirian dalam semua masalah masalah itu seperti pendirian para ulama Aceh sejak zaman dahulu, karena semua ulama Aceh khususnya dalam bidang syari’at dan fiqh islam tidak ada bertentangan antara yang satu dengan yang lain. Apalagi ulama ulama Aceh zaman dahulu seperti syeikh Nuruddin al-Raniri, Syeikh Abdul Rauf al-fansuri al-singkili [Syiahkuala], Syeikh Hamzah Fansuri, Syekh Syamsuddin Sumatrani dan lain lain. Semuanya bermazhab Syafi`I dan antara mereka tidak terjadi pertentangaan dalam syari“at dan fiqh Islam kecuali hamya perbedaan pendapat dalam masalah tauhid yang pelik dan sangat mendalam, yaitu masalah Wahdah al-Wujud, juga masalah hukum Islam yang berkaitan dengan politik, seperti masalah wanita menjadi raja.

Karena itulah maka semua masalah masalah kecil di atas sangat dikuasai oleh Syekh Muda Waly dalil dalil hukum dan alasan alasannya, al Qur’an dan hadist, dan juga dari kitab kitab kuning. Karena itulah, maka terkenallah beliau di kota padang dan mulai dikenal pula oleh seorang ulama besar di kota padang itu, yaitu syeikh Haji Khatib Ali, ayahandanya Prof.Drs.H. Amura.Syeikh Khatib Ali ulama besar ahli al-sunnah wa al-jama’ah dipadang. Murid daripada Syeikh Ahmad Khatib di Mekkah Al-Mukarramah. beliu mendapat ijazah ilmu agama dari Syeikh Ahmad Khatib dan mendapat pula ijazah Tariqat Naqsyabandiyah daripada Syeikh Ustman Fauzi Jabal Qubais Mekkah al-mukarramah. Yang menjadikan beliu terkenal di padang karena kegigihannya mempertankan `aqidah ahli al-sunnah wa al-jama`ah dan mazhab syafi`i, di samping pula beliau adalah menantu seorang ulama besar dalam ilmu syari`at dan tariqat, yaitu Syeikh sa`ad Mungka. Syeikh sa`ad Mungka. Syekh Khatib Ali sangat tertarik kepada Syekh muda Waly sehingga beliau menjodohkan Syekh Muda Waly dengan seorang family beliau yaitu Hajjah Rasimah, yang akhirnya melahirkan Syekh prof. Muhibbuddin Waly. Sejak itulah kemasyhuran Syekh Muda Wali semakin meningkat dan terus ditarik oleh ulama-ulama besar lainnya dalam kelompok para ulama kaum tua, tetapi beliau secara tidak langsung juga mengambil hal-hal yang baik dari ulama-ulama lainnya, seperti orang tuanya Buya Hamka, Haji rasul.

Kemudian Syekh Muda waly juga berkenalan dengan Syekh Muhammad Jamil Jaho. Maka beliau mengikuti pengajian yang diberikan oleh Ulama besar Padang tersebut. Hubungan beliau dengan Syekh Muda Waliy pada mulanya hanya sekadar guru dan murid. Syekh Jamil Jaho adalah seorang Ulama Minangkabau, murid Syekh Ahmad Khatib. Beliau diakui kealimannya oleh ulama lainnya terutama dalam ilmu bahasa arab. Di Pesantren jaho itulah Syekh Muhammad Jamil Jaho mengumpulkan murid muridnya yang pintar untuk mencoba pengetahuan Syekh Muda Waly pada lahiriyahnya mereka seperti mengaji pada Syekh Muda Waly tapi pada hakikatnya adalah untuk menguji dan mencoba Syekh Muda Waly dengan berbagai ilmu alat. Rupanya semua debatan tersebut dapat dijawab oleh Syekh Muda Waly. Dari situlah, Syekh Muda Waly semakin terkenal dikalangan para ulama Minangkabau. Akhirnya Syekh Muda Waly dinikahkan dengan putri Syekh Muhammada Jamil Jaho yaitu dengan seorang putrinya yang juga alim, Hajjah Rabi`ah yang akhirnya melahirkan Syekh H. Mawardi Waly. Akhirnya syekh Muda Waly menempati rumah pemberian paman istri beliau yang pertama, Hajjah Rasimah. Rumah itu terdiri dari dari dua tingkat. Pada bagian bawahnya di gunakan sebagai madrasah tempat majlis ta`lim.

Apabila datang hari hari besar islam ummat Islam di Kota Padang beramai ramai datang kerumah tersebut. Para Ulama Kota Padang khususnya sering berdatangan ke rumah tersebut karena bila tak ada undangan Syekh Muda Waly sibuk mengajar dan berdiskusi dengan para ulama lainnya Apalagi dalam rumah itu juga tinggal seorang ulama besar lain, Syekh Hasan Basri, menantu dari Syekh Khatib `Ali Padang dan suami dari Hajjah Aminah, ibunda dari istri beliau Hajjah Rasimah. Pada tahun 1939 Syekh Muda Waly menunaikan ibadah haji ketanah suci bersama salah seorang istri beliau Hajjah rabi`ah. Selama di Makkah beliau tidak menyia-nyiakan waktu dan kesempatan. Selain menunaikan ibadah haji, beliau juga memanfaatkan waktu untuk menimba ilmu pengetahuan dari ulama ulama yang mengajar di Masjidil Haram antara lain Syekh Ali Al Maliki, pengarang Hasyiah al - Asybah wan nadhaair bahkan beliau mendapat ijazah kitab kitab hadis dari Syekh Ali Al Maliki .
Selama di Makkah Syekh Muda Waly seangkatan dengan Syekh Yasin Al fadani, seorang ulama besar keturunan Padang yang memimpin Lembaga Pendidikan Darul Ulum di Makkah al mukarramah .

Pada waktu Syekh Muda Waly berada di Madinah pada setiap saat shalat beliau selalu menziarahi kuburan yang mulia Rasulullah Saw. Pada waktu itu siapa saja yang menziarahi kuburan Nabi secara dekat, akan dipukul oleh polisi dengan tongkatnya. tetapi pada saat Syekh Muda Waly sedang bermunujat dekat makam Rasullualah, beliau didekati oleh polisi, ingin memukul beliau, maka Syekh Muda Waly langsung berbicara dengan polisi tersebut dengan bahasa arab yang fasih sehingga polisi tersebut tertarik dengan beliau dan membiarkan beliau duduk lama didekat maqam Nabi SAW. Di Madinah Syekh Muda Waly berdiskusi dengan para ulama ulama dari negeri lain terutama dari Mesir. Beliau tertarik dengan dengan perkembangan ilmu pengetahuan di negeri Mesir, sehingga beliau sudah bertekat menuju ke Mesir, tetapi beliau lupa bahwa pada saat itu beliau membawa istri beliau Hajjah Rabi`ah. Istri beliau keberatan ditinggalkan untuk pulang ke Indonesia. akhirnya beliau urung berangkat ke Mesir.

Selama beliau di Makkah ataupun Madinah beliau tak sempat mengambil ijazah dalam Tahariqat apapun. Hal ini kemungkinan besar karena dua hal :
1. Karena beliau berada di tanah suci lebih kurang hanya tiga bulan, waktu yang sangat singkat bagi beliau yang mempunyai cita-cita besar untuk menggali ilmu dari berbagai ulama. Sehingga habislah waktu beliau hanya untuk menemui dan berdiskusi dengan para ulama lainnya.
2. pada umumnya para pelajar yang datang ke Tanah suci untuk mengamalkan thariqat, mengambil ijazah, dan berkhalwat harus berada di tanah suci pada bulan Ramadan. Karena pada bulan Ramadan halaqah pengajian sepi bahkan libur. Semua waktu dalam bulan Ramadhan dutujukan untuk beribadah. Sedangkan Syekh Muda Waly berada di Tanah suci bukan dalam bulan Ramadhan .

Kepulanngan Syekh Muda Waly dari tanah suci beliau mendapat sambutan dari murid murid beliau serta dari ulama ulama Minangkabau lainnya seoerti Syekh `Ali Khatib, syekh Sulaiman Ar Rasuli, Buya syekh Jamil Jaho. Hal ini dikarenakan, dengan kembalinya Syekh Muda Waly, maka bertambah kokoh dan kuatlah benteng Ahlussunnah wal jamaah di padang khususnya.

Dikalangan ulama ulama besar itu, Syekh Muda Waly merupakan yang termuda diantar mereka, sehingga dalam perdebatan perdebatan ilmu keagamaan yang populer pada masa itu, Syekh Muda Waly lebih didahulukan oleh ulama dari kelompok kaum tua untuk menghadapi ulama dari kaum muda. Uniknya kedua belah pihak (Ulama kaum Tua dan Ulama kaum Muda) menampilkan orang orang muda dari kedua belah pihak. Sehingga antara ulama tua dari kedua belah pihak seolah olah tidak terjadi perbedaan pendapat.

Walaupun Syekh Muda Waly telah memiliki ilmu pengetahuan agama yang luas, namun ada hal yang belum memuaskan hati beliau yaitu ilmu yang beliau miliki belum mampu menenangkan batin beliau, akhirnya beliau memutuskan untuk memasuki jalan tasauf sebagaiman yang telan ditempuh oleh ulama-ulama sebelumnya. Apabila Ar Raniri di Aceh mengambil tariqat Rifa`iyah dan Syekh Abdur Rauf yang lebih dikenal oleh masyarakat Aceh dengan sebutan Teungku Syiah Kuala mengambil tariqah Syatariyah maka Syekh Muda Waly memilih Thariqat Naqsyabandiyah, sebuah tariqat yang popular di Sumatra Barat kala itu. Beliau berguru kepada seorang Ulama besar Tariqah di sumatra barat kala itu yaitu Syekh Abdul ghaniy Al Kamfary bertempat di Batu Bersurat, kampar, bangkinang. Beliau bersuluk disana selama 40 hari lamanya. Menurut sebagian kisah menyebutkan bahwa selama dalam khalwatnya dengan riyadah dan munajat berupa mengamalkan zikir zikir sebagaimana atas petunjuk Syekh Abdul Ghany beliau sempat mengalami lumpuh sehingga tidak bisa berjanji untuk mandi dan berwudhuk.

Setelah selesai berkhalwat beliau merasakan kelegaan batin yang luar biasa jauh melebihi kebahagiannya ketika mendapat ilmu yang bersifat lahiriyah selama ini. Beliau mendapat ijazah mursyid dari Syekh Abdul Ghani sebagai pertanda bahwa beliau sudah diperbolehkan untuk mengembangkan thariqah Naqsyabandi yang beliau terima. Setelah mendapat ijazah thariqah beliau kembali kekota Padang dan mendirikan sebuah Pesantren yang bernama Bustanul Muhaqqiqin di Lubuk Begalung, Padang. Sebuah pesantren yang terdiri dari beberapa surau dan asrama. banyak murid yang mengambil ilmu di pesantren tersebut bahkan juga santri - santri dari Aceh. Tetapi pada saat jepang masuk ke Padang, Syekh Muda Waly mengambil keputusan pulang ke Aceh karena di Aceh beliau merasa lebih tenang dan nyaman dalam mengamalkan dan mengembangkan ilmu yang telah beliau miliki. Sehingga akhirnya Pesantren yang beliau bangun di Padang lumpuh.

Pulang ke Aceh
Setelah Syekh Muda Waly berjuang menuntut ilmu pengetahuan melalui pendidikan yang secara lahiriahnya seperti tidak teratur, tetapi pada hakikatnya bagi Allah S.W.T., perjalanan pendidikan beliau selama ini membawa beliau naik ke tingkat martabat ulama dan hamba Allah yang shalih. Maka dengan hasil perjalanan pandidikannya serta pengalaman-pengalaman yang beliau dapati selama ini, rasanya bagi beliau sudah cukup dijadikan pokok utama untuk mengembangkan agama Allah ini dengan pendidikan pesantren di tempat beliau dilahirkan, di blang poroh Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan. Meskipun pada waktu itu kata Darusssalam itu belum ada, dan adanya nama ini setelah beliau mendirikan pesantren di desa beliau sendiri.

Lebih kurang pada akhir tahun 1939, beliau kembali ke Aceh Selatan melalui parahu layar dari Padang ke Aceh di kecamatan Labuhan haji. Beliau disambut dengan meriah oleh ahli famili, para teman dan masyarakat, Labuhan Haji. Setelah beberapa hari beliau berada di desanya, maka beliau bertekad membagun sebuah pasantren. Pembangunan sebuah pesantren kali pertama tentu seadanya saja. Maka beliau hanya mendirikan sebuah surau bertingkat dua. Pada tingkat dua di atas sebagai tempat tinggal beliau beserta keluarga, sedangkan pada tingkat bawah dan yang masih tersisa di atas dipergunakan sebagai tempat ibadah.

Lahan tempat mendirikan musholla yang diberi oleh famili beliau sangat terbatas, sedangkan jamaah sudah mulai kelihatan berbondong-bondong datang ke surau beliau. Ibu-ibu pada malam selasa dan harinya, sedangkan bapak-bapak pada malam rabu dan harinya pula. Oleh karena itu, maka beliau ingin memperluas lahan untuk betul-betul memulai sebuah pesantren yang dapat menampung santri-santri dengan tempat tinggalnya sekalian, yang dalam istilah Aceh, disebut dengan rangkang-rangkang. Maka beliau berusaha untuk membeli tanah sekitar surau yang ada. Beliau membeli tanah untuk pembangunan pesantren sedikit demi sedikit, hingga mencapai ukuran 400×250 m2. Di atas tanah itulah beliau menampung santri-santri yang berdatangan sedikit demi sedikit, dari Kecamatan Labuhan Haji, dari kecamatan-kecamatan di Aceh Selatan, bahkan juga dari berbagai kabupaten di Daerah Istimewa Aceh. Berkembanglah pesantren itu, sehingga pelajar-pelajar dari luar daerahpun pada berdatangan, khususnya dari berbagai propinsi di Pulau Sumatra.

Pesantren itu beliau bagi-bagi atas berbagai nama, sebagai berikut;
Pertama: Darul-Muttaqin; di bagian ini terletak lokasi madrasah, mulai dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi dan di sampingnya dibangun sebuah surau besar selaku tempat ibadah. Khususnya dalam pengembangan tariqat Naqsyabanditah dan dijadikan tempat khalwat atau suluk 40 hari selama ramadhan dengan 10 hari sebelumnya, 10 pada awal zulhijjah, 10 hari pada bulan Rabiul awal
Kedua : Darul `Arifin; di lokasi ini bertempat tinggal guru guru ynag sebagian besar sudah berumah tangga. Lokasinya agak berdekatan dengan pantai Laut Samudra Hindia
Ketiga : Darul Muta`allimin; Ditempat ini bertempat tinggal para santri pilihan diantaranya anak syekh Abdul ghani Al kampari, guru tasauf Syekh muda Waly.
Keempat : Darus salikin; dilokasi ini banyak asrama asrama tempat tinggal para pelajar penuntut ilmu yang juga digunakan sebagai tempat berkhalwat.
Kelima : Darul zahidin; lokasi yang paling ujung dari lokasi pesantren Darussalam ini. Kalau bukan karena tempat lainnya sudah penuh, maka jarang sekali santri yang mau tinggal di lokasi ini apalagi tempat ini pada mulanya merupakan tambak udang dan ikan.
Keenam : Darul Ma`la; lokasi ini merupakan lokasi nomor satu karena tanahnya tinggi dan udaranya pun bagus dan terletak dipinggir jalan .

Semua lokasi ini dinamakan oleh syekh Muda waly dengan nama demikian sebagai tafaul kepada Allah semoga semua santri yang belajar disitu menjadi hamba hamba Allah yang senatiasa menuntut ilmu (Al Muta`allimin), hamba hamba yang zahid, mengutamakan akhirat dari pada dunia (Az-Zahidin), hamba hamba yang shalih mendapat tempat terhormat baik disisi Allah maupun dalam pandangan masyarakat.

Tak lama kemudian beliau menikah dengan seorang wanita dari desa pauh, Labuhan Haji. Kemudian beliau mendirikan sebuah pesantren lain di ibu kota kecamatan. Pesantren ini merupakan sebuah pesantren khusus, pelajarnya juga tidak banyak. para pelajar di pesantren ini secara langsung berhadapan dengan kaum orang orang yang berfaham wahabi sehingga mendatangkan persaingan pengembangan ilmu pengetahuan agama melalui perdebatan yang diadakan para pelajar membahas masalah masalah khilafiyah dengan dalil dalilnya menurut pendirian ulama ahlussunnah waljamaah. Dipesantren inilah diadakan pengajian yang dikuti oleh semua lapisan masyarakat bahkan juga dikuti oleh kalangan Muhammadiyah dan golongan Salik Buta sehingga menjadikan majlis ini majlis yang dipenuhi dengan pertanyaan dan debatan yang ditujukan kepada Syekh Muda Waly. namun semuanya dapat di jawab oleh Syekh Muda Waly dengan jawaban ilmiah yang memuaskan.

PENDIDIKAN PESANTREN
Di pesantren yang beliau bangun itu Syekh Muda Waly mengajarkan kepada masyarakat ilmu agama. Khusus untuk kaum ibu pada hari malam selasa, senin, atau malam senin. Pada malam senin kaum ibu ibu mendapat ceramah agama dari guru guru yang telah ditetapkan oleh beliau. sedangkan pada selasa pagi sebelum zuhur, setelah pengajian subuh, semua kaum ibu ibu yang bermalam di pesantren ikut membangaunn pesantren dengan menimbun sebagian lokasi pesantren yang belum rata dengan batu yang diambil dari pantai. Satu yang aneh dan luar biasa, batu itu dihempaskan oleh gelombang air laut kepantai dan batu batu itu berwarna putih bersih. Dan ini hanya terjadi di pantai yang berada di dekat pesantren. Setelah shalat Dhuhur para ibu ibu tersebut mendapat ceramah dari guru yang telah ditentukan oleh Syekh Muda Waly yang kemudian lanjutkan dengan tawajuh dalam tariqat Naqsyabandiyah dan shalat ashar. Sedangkan waktu untuk kaum laki laki adalah pada selasa malam mulai maghrib hingga larut malam.

Pada setiap bulan Ramadan Syekh Muda waly mengadakan khalwat untuk masyarakat yang dimulai sejak sepuluh hari sebelum Ramadan sampai harai raya idul fitri. Ada yang berkhalwat selama 40 hari ada juga yang 30 hari dan ada juga yang 20 hari. Selain dalam bulan Ramadan, khalwat juga diadakan dalam bulam Rabiul awal selama 10 hari. Demikian juga pada bulan Zulhijjah selama 10 hari semenjak tanggal satu sampai 10 Zulhijjah.

Sistem pendidikan pesantren yang diterapkan oelh syekh Muda Waly terbagi kepada dua:
Pertama: sistem qadim,
yakni sitem pendidikan yang telah berjalan bagi para ulama sebelumnya. Sistem ini menekankan supaya kitab kitab yang dipelajari mesti khatam. Oleh Karena guru hanya membaca, menerjemahkan dan menjelaskan sepintas lalu makna yang terkandung di dalamnya. Menurut beliau sistem ini kita bagaikan naik bus pada malam hari, yang kita lihat hanyalah jalan yang disorot oleh lamup bus saja. walaupun perjalanannya panjang dan banyak yang kita lihat tetapi hanyalah sekedar jalan yang diterangi oleh lampu bus saja, sedangkan dikiri kanannya kita tidak melihatnya .
Kedua: sistem madrasah,
Pada sistem ini para pelajar sudah mengunakan bangku dan papan tulis. Pada sistem kedua ini tidak ditekankan pada khatam kitab, tetapi harus banyak diskusi untuk pendalaman. Sebagai contoh, apabila pelajaran fiqh yang dibaca adalah kitab Tuhfah Al Muhtaj syarah Minhajul Thalibin, maka yang dibaca hanya sekitar 10 baris saja, dilanjutkan dengan pembahasan pada matannya, syarahnya serta hasyiah hasyiahnya serta pendalaman berdasarkan dalil dalilnya baik dari Al Qur an, Al Hadis ataupun disiplin ilmu lainnya. ini memang memakan waktu yang lama, tetapi bila para santri terbiasa dengan sistem ini maka akan menghasilkan pemahaman yang mendalam dalam memahami kitab kuning. Rupanya kedua sistem ini sangat menarik sehingga banyak santri yang berdatangan ke Darussalam yang berasal dari berbagai daerah.

Syekh Muda Waly mengamalkan ilmunya dengan luar biasa. pukul 6.00 pagi beliau mengajar semua santri mulai dari tingkat yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Disini terbuka pintu bagi semua santri untuk menanyakan segala sesuatu tentang lafaz yang beliau baca. Pukul 9.00 pagi setelah sarapan dan shalat dhuha beliau mengajar pada tingkat yang lebih tinggi, yang terdiri dari para dewan guru. kitab yang dibaca adalah Tuhfah Al Muhtaj, jam`ul jawami` dan kitab besar lainnya sampai waktu ashar. Sesudah asar beliau juga menyediakan waktu bagi siapa saja yang berminat mengambil ilmu dari beliau. Syekh Muda Waly sangat disiplin dalam mengajar sehingga dalam kondisi sakitpun beliau tetap mengajar. Pernah pada satu kali pada saat beliau sakit. para murid beliau sepakat untuk tidak mendebat beliau, tetapi hanya mendengarkan penjelasan dari beliau. Rupanya hal ini membuat beliau marah, kenapa para murid beliau tidak mendebat beliau. Pertanyaan dan debatan dari murid mrid beliau rupanya menjadi obat yang sangat mujarab bagi beliau. Tetapi beberapa saat setelah mengajar beliau kembali jatuh sakit. Ketekunan dan kedisiplinan beliau dalam mendidik muridnya telah membuahkan hasil yang luar biasa, sehingga dari beliau lahirlah puluhan ulama ulama yang menjadi benteng Ahlussunnah di Aceh dan sekitarnya Hampir seluruh pesantren di Aceh sekarang ini mempunyai pertalian keilmuan dengan beliau dan dari murid murid beliau lahir pulalah ulama ulama terpandang dalam masyarakat. Dengan adanya perjuangan beliau perkembangan faham wahabi dan ide pembaruan terhadap ajaran islam yang telah menjalar ke sebagian tokoh tokoh di Aceh dapat ditekan Beliau sangat istiqamah dengan faham Ahlussunnah dan mazhab syafii.

Diantara murid murid beliau adalah :
1. Al Marhum Tgk. H.Abdullah Hanafiah Tanoh Mirah, pimpinan Dayah darul Ulum, Tanoh Mirah, Bireun
2. Al Marhum Tgk. Abdul Aziz bin Shaleh, pimpinan pesantren MUDI MESRA (Ma`hadal Ulum Diniyah Islamiyah) Samalanga, Bireun.
3. Al Marhum Tgk. Muhammad Amin Arbiy. Tanjongan, Samalanga, Bireun.
4.Tgk. H. Muhammad Amin Blang Bladeh (Abu Tumin) pimpinan pesantren Al Madinatut Diniyah Babussalam, Blang Bladeh Bireun.
5. Tengku H. Daud Zamzamy. Aceh Besar.
6. Al Marhum Tgk. Syekh Syihabuddin Syah (Abu Keumala) pimpinan pesantren Safinatussalamah, Medan.
7. Teungku Adnan Mahmud pendiri pesantren Ashabul Yamin Bakongan Aceh Selatan .
8. Al Marhum. Tgk Syekh Marhaban Krueng Kalee (putra Syekh Hasan Krueng kale) mantan menteri muda era Sukarno.
9. Al MarhumTgk.Muhammad Isa Peudada
10. Al MarhumTgk. ja`far Shiddiq Kuta Cane
11. Al MarhumTgk. Abu Bakar sabil,Meulaboh Aceh Barat
12. Al MarhumTgk.Usman fauzi.Cot Iri,Aceh Besar.
13. Syekh. prof. Muhibbuddin waly (putra beliau sendiri yang paling tua)
14. Al Marhum Syekh Jailani
15. Al Marhum Syekh Labai sati, Padang Panjang
16. Al Marhum Tgk. Qamaruddin, Teunom, Aceh Barat
17. Tgk. Syekh Jamaluddin Teupin Punti, Lhok sukon, Aceh utara
18. Tgk. Syekh Ahmad Blang Nibong Aceh Utara
19. Tgk. Syekh Abbas Parembeu, Aceh Barat
20. Tgk. Syekh Muhahammad Daud, Gayo
21. Tgk. Syekh Ahmad, Lam Lawi, Aceh Pidie
22. Tgk. Muhammad Daud Zamzami, Aceh Basar.
23. Tuanku Idrus, Batu Basurek, Bangkinang
24. Al Marhum Tgk. Syekh Amin Umar, Panton labu
25. Syekh Nawawi Harahap,Tapanuli
26. Al Marhum Tgk Syekh Usman Basyah, Langsa
27. Tgk.Syekh Karimuddin, Alue Bilie, Aceh Utara
28. Tgk.Syekh Basyah Kamal Lhoung,Aceh Barat
Dan lain lain banyak lagi…..

Selain meninggalkan murid, beliau juga meninggalkan beberapa tulisan diantaranya :
1. Al fatwa, Sebuah kitab dalam bahasa indonesia dengan tulisan arab, berisi kumpulan fatwa beliau mengenai berbagai macam permasalahan agama
2. Tanwirul anwar, berisi masalah masalah aqidah
3. Risalah adab zikir ismuz Zat
4. Permata Intan, sebuah risalah singkat berbentuk soal - jawab mengenai masalah i`tidaq
5. Intan Permata, risalah singkat berisi masalah tauhid

Dalam risalah yang terakhir (Intan Permata) beliau memberi keputusan tentang perdebatan Syekh Ahmad Khatib dengan Syekh Sa`ad Mungka, beliau menyebutkan:

“Ketahuilah hai segala ummat Ahlissunnah waljamah, bahwasanya karangan yang mulia Syekh Ahmad al Khatib yang bernama: Izhar Zighlil-Kazibin, tentang membantah Rabithah dan Thariqat naqsyabandiyah itu adalah silap dan salah paham dari Syekh yang mulia itu, karena beliau itu telah ditolak oleh yang mulia Syekh Sa`ad Mungka Payakumbuh (Sumatra Tengah) dengan kitabnya Irghamu Unufil Muta`annitin. Kemudian kitab ini dijawab pula oleh yang mulia Syekh Ahmad al khatib dengan kitabnya as Saiful Battar. Kitab ini pun ditolak oleh yang mulia Syekh As`ad Mungka dengan kitabnya yang bernama Tanbihul `Awam. Pada akhirnya patahlah kalam Tuan Syekh Ahmad al-Khatib. karena itu maka hamba yang faqir ini, Syekh Muhammad waly al Khalidy sebabnya mengambil Thariqat Naqsyabandiyah adalah setelah muthala`ah pada karangan karangan Syekh Ahmad Khathib dan karangan karangan Syekh Sa`ad Mungka dimana antara karangan kedua-dua orang ulama itu sifatnya soal jawab dan debat-berdebat. perlu diketahui bahwa Tuan Syekh Ahmad Khatib itu murid Sayyid syekh Bakrie bin sayyid Muhammad Syatha. Sedangkan Tuan Syekh As`ad Mungkar murid Mufti Az Zawawy, gurunya Syekh Usman Betawi yang masyhur itu.Maka muncullah kebenaran ditangan Tuan Syekh Sa`ad Mungka apalagi saya telah melihat pula kitab as Saiful Maslul karangan ulama Madinah selaku menolak kitab Izhar Zighlil Kazibin.Oleh sebab itu bagi murid muridku yang melihat karangan syekh Ahmad Khatib itu janganlah terkejut, karena karangan beliau itu ibarat harimau yang telah dipancung kepalanya.”

Syekh Muda Waly bukan hanya berperan dalam menyebarkan ilmu agama saja. Tapi beliau memiliki andil yang besar dalam mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan Republik Indonesia. Dalam mempertahankan proklamasi 17 agustus 1945 para ulama Aceh tampil kedepan dengan mengeluarkan fatwa jihad fi sabilillah dan mendirikan barisan barisan perjuangan. Pada tanggal 18 Zulqa`dah 1364 Teung Syekh Hasan Krueng Kalee mengeluarkan fatwa dengan menyatakan bahwa perjuangan mempertahankan Republik Indonesia dan berperang menetang musuh musuh Allah adalah suatu kewajiban dan apabila mati dalam peperangan itu akan mendapat pahala syahid .Disamping itu juga diterangkan pula hendaklah ummat islam mengorbankan jiwa dan harta untuk menolong agama Allah dan menolong negara yang sah.fatwa itu dusebarkan luas keseluruh Aceh melalui pemuda pemuda Aceh yang tergabung dalam Barisan Pemuda Indonesia yang kemudian menjadi Pemuda republic Indonesia.

Berdasarkan itu Syekh Muda Waly di Labuhan Haji memperkuat fatwa tersebut melalui pengajian pengajian dan ceramah ceramah umum. bahkan beliau menjabat sebagai pimpinan tertinggi dalam bariasabn Hizbullah, meskipun dalam pelaksanaannya banyak diserahkan kepada keponakannya yang juga merupakan seorang ulama muda yang kemudian menjadi menantu beliau. Di samping itu PERTI yang dipimpin oleh Nya` Diwan telah membawa satu barisan perjuanagan dari Sumatra barat yang disebut Lasymi (Laskar Muslimin Indonesia). Antara kedua laskar ini saling mengisi demi memperjuangkan Ahlussunnah dan mempertahankan kedaulatan Negara dari tangan penjajah.

Peristiwa berdarah di Aceh
Dalam mempertahankan keutuhan negara Indonesia beliau juga memiliki peran ynag sangat penting. Pada tanggal 13 Muharram 1373 /21 september 1953 meletuslah peristwa berdarah di Aceh yaitu peristiwa DI/TII yang dipimpin oleh Tgk. Muhammad Daud Bereueh, mantan gubernur militer Aceh Langkat dan Tanah Karo dan mantan gubernur Aceh dan merupakan salah seorang pemimpin utama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh). Beliau memang tidak bergabung dalam PUSA karena sebagian besar ulama yang bergabung dalam PUSA telah terpengaruh dengan ide pembaruan dalam Islam dari Minangkabau.

Dalam hal ini para ulama besar di Aceh yang terdiri dari Kaum Tua antara lain Syekh Muda waly, Syekh Hasan Krueng Kalee, Teungku Abdul Salam Meuraksa, Teungku Saleh Mesigit Raya dan ulama lainnya tidak mendukung gerakan ini, karena mereka mengetahui bahwa latar belakang kejadian ini bukanlah hal hal yang dikaitkan dengan agama tetapi hanyalah hal hal yang dikaitkan denagn dunia semata. oleh karena itu para ulama terszebut mengeluarkan fatwa mengutuk pemberontakan tersebut atas nama para ulama ulama tersebut. tetapi karena semua ulama tersebut berada dalam PERTI maka penonjolannya lebih terlihat atas nama PERTI. Teungku Syekh Muda Waly pada tanggal 18 November 1959 dalam suatu rapat umum di Labuhan Haji mengharamkan pemberontakan tersebut, dan beliau menyatakan siap memberi bantuan menurut kesanggupan beliau. para ulama ulama tersebut sangat menyayangkan kenapa faktor faktor pemberontakan tersebut tidak di musyawarahkan terlebih dahulu dengan para ulama-ulama besar di Aceh. Sehingga segala permasalahan dapat diselesaikan tanpa harus melalui peristiwa berdarah. Karena jasa beliau itu, beliau pernah diundang oleh Presiden Sukarno ke istana Bogor pada tahun 1957 untuk menghadiri Konferensi Ulama Indonesia untuk memutuskan kedudukan Presiden Sukarno menurut Islam. dalam konferensi tersebut beliau para ulama dari seluruh Indonesia sepakat menyatakan bahwa presiden Sukarno itu presiden yang sah dengan prediket Wali al amri al Dharury bi al syaukah.

Setelah berjuang demi tegaknya agama ini, akhirnya Syekh Muda Waly kembali kehadapan Allah pada tanggal 11 syawal 1381/20 maret 1961 tepat pukul 15.30 WIB hari selasa. Jenazah beliau di shalatkan oleh ulama dan murid murid beliau serta masyarakat yang terjangkau kehadirannya ke Dayah Labuhan Haji, karena pada zaman itu kendaraan umum masih sangat minim di Aceh selatan.Beliau dimakamkan dalam komplek Dayah Labuhan Haji yang beliau pimpin. Selanjutnya kepemimpinan Pesantren tersebut dilanjutkan oleh putra putra beliau secara bergantian antara lain Syekh Muhibbuddin Waly, Syekh Jamaluddin Waly, Syekh Mawardi Waly, Syekh Nasir Waly, Syekh Ruslan Waly dan putra putra beliau lainnya. Hal ini karena hampir semua putra beliau menjadi ulama ulama terkemuka. Beliau bukan hanya berhasil dalam mendidik murid muridnya tetapi juga berhasil mendidik putra putranya menjadi ulama ulama yang gigih mempertahankan faham Ahlussunnah wal jamaah. Keberhasilan beliau dapat terlihat dengan jelas, dimana sekarang ini hampir semua pesantren tradisional di Aceh mempunyai silsilah keilmuan dengan beliau.

Coba kita lihat beberapa pesantren di Aceh saat ini antara lain ;
1. Pesantren LPI .MUDI MESRA, Samalanga dipimpin oleh Teungku H. Hasanoel Basry (Abu Mudi) murid dari Syekh Abdul Aziz (murid Syekh Muda Waly, pimpinan MUDI MESRA sebelumnya)
2. Pesantren Al Madinatud Diniyah Babusslam Blang Bladeh, Bireun dipimpin oleh Syekh H. Muhammad Amin Blang Bladeh (murid Syekh Muda Waly)
3. Pesantren Malikussaleh Panton Labu Aceh utara, dipimpin oleh Syekh. H. Ibrahim Bardan (murid Syekh Abdul Aziz, Samalanga)
4. Pesantren Darul Huda Lhueng Angen, Lhok Nibong, Aceh Utara, dipimpin oleh Syekh Abu Daud (murid Syekh Abdul Aziz, Samalanga)
5. Pesantren Darul Munawwarah, Kuta Krueng, Bandar Dua. Pidie jaya. dipimpin oleh TGK. H Usman Kuta Krueng (murid Syekh Abdul Aziz, Samalanga)
6. Pesantren Darul ulum, Tanoh Mirah. Bireun. dipimpin oleh TGK. Muhammad Wali, putra Syekh Abdullah Hanafiah, (murid Syekh Muda waly dan pimpinan pesantren tersebut sebelumnya)
7. Pesantren Raudhatul Ma`arif Cot Trueng Aceh Utara, dipimpin oleh TGK. H. Muhammad Amin (murid Syekh Abdul Aziz, Samalanga)
8. Pesantren Darul Huda, Paloh gadeng Aceh utara.dipimpin oleh Syekh Mustafa Ahmad (Abu Mustafa Puteh, murid Syekh Muhammad Amin Blang Bladeh)
9. Pesantren Ashhabul Yamin, Bakongan, Aceh Selatan, dipimpin oleh Syekh Marhaban Adnan (murid Syekh Abdul Aziz, Samalanga, putra Syekh Adnan Mahmud Bakongan )
10. Pesantren Ruhul fata, Seulimum, Aceh Besar, dipimpin oleh TGK. H. Mukhtar Luthfy (murid Syekh Abdul Aziz, Samalanga)
11. Pesantren Serambi Makkah, Meulaboh, Aceh Barat. dipimpin oleh Syekh Muhammad Nasir L.c (murid Syekh Abdul Aziz, Samalanga putra Abuya Syekh Muda waly)
12. Bahrul Ulum Diniyah Islamiyah (BUDI ) Lamno, Aceh Jaya. dipimpin oleh Tgk. H. Asnawi Ramli, sebelumnya dipimpin oleh Tgk. Syekh Ibrahim Lamno (murid Syekh Abdul `Aziz Samalanga)
13. Yayasan Dayah Ulee Titi, Ulee Titi, Aceh Besar, dipimpin oleh Tgk. Syekh `Athaillah (murid Syekh Ibrahim Lamno)

Kesemua Pesantren tersebut dan beberapa pesantren lainnya mempunyai pertalian keilmuan dengan Syekh Muda Waly. Demikianlah manaqib singkat Syekh Muda Waly yang lebih populer dalam masyarakat Aceh dengan sebutan Abuya Muda Waly, seorang ulama yang sangat berperan dalam mempertahankan Faham Ahlussunnah dan mazhab Syafii di bumi Aceh. Seorang Ulama besar yang bisa dikatakan sebagai Mujaddid untuk Aceh dan sekitarnya. Semoga Allah menempatkan beliau disisinya yang tinggi. dan semoga Allah melahirkan Syekh Muda Waly lainnya untuk Aceh ini khususnya dan untuk ummat islam lainnya.

Kejadian–kejadian yang dapat menunjuki kelebihan Abuya
1. Penyusunan struktur organisasi Darussalam
Pada satu waktu sekitar awal tahun 1953 Abuya memanggil tokoh–tokoh masyarakat yang mendukung Darussalam baik yang dekat ataupun yang jauh dan para guru guru yang ada di Darussalam beserta murid murid Bustan untuk menghadiri sebuah majlis yang diadakan di ruangan Bustanul muhaqqiqin. Setelah para hadirin lengkap hadir seluruhnya lalu Abuya membuka majlis dengan ummul Qur an, dan Abuya menamakan majlis ini dengan السلامة والنجاح سفينة ‘’ sehingga saya menamakan satu pengajian di Medan dan sekitarnya dengan nama Safinatus Salamah. Setelah Abuya menyampaikan maksud dan tujuan majlis ini dengan cara rinci, lalu Abuya menyerahkan kepada para hadirin untuk dapat menyusun struktur organissi Darussalam. Seterusnya Abuya meninggalkan majlis dan majlis mulai menyusun dan menetapkan struktur organisasi yang terdiri dari :
a. Pimpinan tertinggi Darussalam : Abuya Syekh H.Muhammad Waly Al-khalidy
b. Wakil pimpinan Darussalam : Tgk. Muhammad Yusuf Alami
c. Sekretaris Darussalam : Tgk. Idrus Abdul Ghani
d. Ketua Dep.Keamanan : Tgk. Abdullah Tanoh mirah
e. Ketua Dep.P.U : Tgk. Basyah Lhong.
Pengamat Darussalam yang terdiri dari beberapa tokoh masyarakat ,antara lain :
1. Tgk. Nyak Diwan
2. T. Ramli Akasyah (Widana )
3. Tgk. Andan Bakongan
4. T. Usman (Camat)

Dan didukung pula oleh beberapa orang tokoh lainya. Sedangkan Depertemen lain disempurnakan kemudian. Setelah struktur organisasi dibentuk dan ditetapkan lalu Abuya kembali masuk ke ruangan majlis untuk mengesahkan keputusan majlis tersebut. Usaha ini semua bertujuan untuk mengangkat keberadaan Darussalam ditengah tengah masyarakat kaum muslimin.

KUNJUNGAN GUBERNUR
Sekitar tahun 1954 Gubernur Sumatera utara (Medan) Mr. S. M. Amin, Residen Aceh Abd. Razak dan pembesar–pembesar daerah dengan dideking oleh sebuah kompi Brimob mengunjungi Darussalam. Setibanya Gubernur dan rombongan di pintu gerbang Darussalam, kami dan rakyat sekitar telah siap menunggu kedatangan rombongan Gubernur dengan upacara sambutan ala Darussalam. Seterusnya kami persilahkan Gubernur dan rombongan untuk mengambil tempat dikursi yang telah kami sediakan, sedangkan diantara gubernur dan residen tersedia kursi yang masih kosong, kemudian saya (Tgk.Keumala) menjemput Abuya untuk menghadiri majlis. Setibanya Abuya dipintu ruangan, Saya berseru : ’’Dengan hormat, para undangan mohon berdiri…..! Abuya masuk ruangan. Setelah Abuya menyalami Gubernur dan residen. ’’Para undangan mohon duduk kembali !" Seterusnya majlis dibuka oleh nyak Diwan.
bapak gubernur dipersilahkan !……
Inti sari pidato gubernur:
‘’Pemerintah sangat bersedih hati dan prihati atas meletusnya peristiwa DI/TII di Aceh ini, yang telah banyak menelan korban, baik harta benda dan nyawa maupun sarana dan prasarana lainnya. Olehkarena itu marilah kita bersama-sama bahu membahu berusaha untuk menciptakan keamanan dan kedamaian,sehingga kita dapat melaksanakan tugas sehari-hari yang menyangkut dengan agama dan Negara. Seterusnya atas nama pemerintah, gubernur menyampaikan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada Abuya yang telah memberikan sumbangsih yang sebesar-besarnya kepada terciptanya kembali keamanan di Aceh khususnya dan didaerah lainnya umumnya diIndonesia’’ Demikian Gubernur.
Abuya dipersilahkan ‘’…….
Inti sari dari kata sambutan Abuya:
‘’Peristiwa Aceh yang dahsyat itu berasal dari salah penafsiran Nash Al-Qur an dan Hadis oleh para ulama–ulama yang telah mendukung peristiwa tersebut, oleh karenanya, andaikata para ulama ulama itu dapat didatangkan atau datang ke Darussalam ini, InsyaAllah saya akan dapat memberikan penafsiran yang benar tentang hukum peristiwa yang sedang bergejolak. Demikian Abuya.
seterusnya para hadirin beristirahat sambil minum teh, lalu saya mendekati Gubernur memohon kepadanya atas nama Abuya dan murid Darussalam supaya didirikan sebuah kantor pos pembantu di Labuhan Haji, demi kemudahan kami tentang urusan pos. Gubernur menjawab ‘’ya, saya terima dan saya laksanakan’’. itulah kantor pos Labuhan haji. Akhirnya gubernur dan rombongan meningglakan Darussalam .

UNDANGAN PRESIDEN
Tidak lama setelah gubernur mengunjungi Darussalam, Abuya diundang oleh presiden RI Sukarno ke Jakarta. kami rasa undangan ini sangat rapat hubungannya dengan isi kunjungan gubernur ke Darussalam. Rupanya undangan ini bukan saja kepada Abuya tetapi undangan yang sama juga ditujukan kepada tokoh–tokoh ulama yang didaerah masing masimg ada peristiwa yang sama. sekalipun tidak serupa. Diantara tokoh tokoh ulama Aceh yang diundang antaralain Abuya sendiri, Abu Hasan Krueng kale dan beberapa oarng pengikutnya. Berangkatlah mereka melalui bandara Polonia, Medan yang mana saya sendiri (tgk.Keumala) ikut mengantarkan mereka kebandara. Setibanya di Jakarta Abuya menemui puluhan tokoh tokoh ulama daerah yang diundang antara lain dari padang, jawa barat, Maluku dan lain lain. Setelah berkumpul ulama ulama di istana Negara, lalu presiden menyatakan selamat datang dan menyampaikan maksud tujuan undangannya, presiden berkata ‘’saya meminta kepada para ulama yang hadir untuk merumuskan nama dan keberadaan saya sebagai presiden RI. Lalu para ulama merumuskan dan sepakat atas usulan Abuya dengan nama ‘’ أولى الأمرضرورى بالشوكة ‘’. Setelah memutuskan nama yang disepakati, lalu Abuya sebagai ketua majlis melaporkan kepada presiden dan presiden menyucapkan terimakasih. Akhirnya para ulama meninggalkan istana menuju daerahnya masing-masing. Dan kepada Abuya khususnya, Presiden menghadiahkan satu unit mesin listrik bertenaga tinggi, mesin itu dimuatkan melalui Medan melalui gubernur Sumatera Utara kedalam sebuah kapal laut. Abuya, bupati Aceh selatan (Kamarusyid) dan saya sendiri ikut bersama-sama melalui laut menuju Aceh. Inilah satu-satunya mesin listrik didaerah Labuhan Haji.

PENGAKUAN ULAMA
Tgk. Muhammad Ali Cumat Keumala meriwayatkan sebagai berikut:
‘’Pada akhir tahun 1950 diadakan sebuah forum perdebatan besra di Mesjid Raya Kuta Raja (Banda Aceh) yang diadakan oleh panitia majlis, ulama–ulama yang hadir dalam forum tersebut terdiri dari kaum ulama tua disatu pihak dan ulama muda dipihak yang lain. Sedangkan masalah ynag dperdebatkan terdiri dari 9 masalah termasuk bilangan rakaat Shalat Tharawih. Dipihak ulama kaum muda muncullah Tgk. Hasbiy Ash Shiddiqiy untuk mengemukakan satu demi satu masalah yang diperdebatkan, lalu ulama kaum tua dipersilahkan untuk menanggapinya. Demikian sterusnya perdebatan itu berlalu diantara mereka selama beberapa malam. Dalam pada itu, hujjah kaum tua mulai melemah sekalipun prinsipnya masih kuat. Akhirnya muncullah Abuya untuk menanggapi keseluruhan masalah yang diperdebatkan dengan member dalil dan nash ynag cukup pada setiap permasalahannya, dan Abuya menerangkan asal usul perselisihan seraya beliau menunjuki orang-orang yang mendalangi timbulnya perselisihan .ألحمد لله
Kemudian Tgk. Hasbi Ash Shiddiqi memberikan komentarnya :
‘’Saya tidak berdebat dengan Tgk. H. Muda Waly, akan tetapi saya ingin mengetahui apakah ia seorang yang alim dan bijaksana’’ (Demikian riwayat Tgk. Muh. Ali Cumat)
Disamping itu perlu dicatat bahwa ulama yang hadir merasa kagum dan mengakui akan kealiman Abuya meskipun tidak diucapkan, kecuali Abu Hasan Krueng Kalee yang mengucapkan langsung bahwa Tgk. H. Muda Wali sangat alim. (tambahan Tgk. Muh. Ali. Cumat)

KUNJUNGAN ULAMA INDIA
Salah seorang Ulama besar india berkebangsaan Pakistan mengunjungi Darussalam dekitar awal tahun 1953. Setibanya ulama ini di Darussalam, keesokan harinya ikut bersama kami ke ruangan Bustanul Muhaqqiqin untuk menurima pelajaran yang akan diberikan Abuya melalui kitab Tuhfatul muhtaj. Abuya masuk ruangan..pelajaran dimulai dengan Abuya sendiri membaca kitab. kami memperhatikan surah kitab yang dikemukakan Abuya pada hari itu sangat tinggi, dengan cara mengkombinasikan hasil pendapat Ibnu Hajar dalam surah Tuhfah dengan pendapat Muhammad Syarwany dalam hasyiah pertama Tuhfah dan duhubungkan pula dengan pendapat Ibnu Qasem pada Hasyiah Tuhfah yang kedua.

Kemudian Abuya dapat mentaqrirkan dan mengeluarkan pendapatnya sehingga merupakan sebuah bentuk Hasyiah yang lain dan langsung Abuya menulis dengan tangannya pada lembaran kosong kitab Tuhfah yang ada dihadapannya. Dan tiap-tiap akhir pendapatnya Abuy amenulis إبن سالم إنتهى (Abuya sendiri).

Saya memperhatikan dengan sungguh–sungguh sikap ulama ini yang duduk tidak jauh dari saya, bahwa ia sangat merasa kagum atas pembahasan yang diuraikan Abuya pada setiap masalah yang dibacakan. Pada akhir majlis Bustan ulama tersebut sempat memberikan kata pengakuaannya.
dikatakan ‘’Saya telah mengelilingi Negara-negara Islam di Asia Tengah dan Asia Tenggara dari Pakistan, Mesir, Makkah, Madinah, Yordania, Malaysia, Indonesia tidak pernah saya dapati Kitab Tuhfah karangan Ibnu Hajar yang dijadikan sebagai mata pelajaran dii Universitas di Negara Negara tersebut, kecuali di Darussalam ini. Dan saya belum pernah mendengar pembahasan kitab ini setinggi pembahasan yang saya peroleh di dalam Bustanul Muhaqqiqin ini. Syukran !
Akhirnya ulama India itu meninggalkan Darussalam .

KUNJUNGAN K. H. SIRAJUDDIN ABBAS
Seiring dengan kunjungan ulama India, Darussalam dikunjungi pula oleh seorang ulama besar, pengarang ulung dan merupakan ketua Umum PERTI seluruh Indonesia dari Padang, K. H. Sirajuddin Abbas. Setibanya di Darussalam Abuya langsung menyambut K.H Siraj ini sebagaimana seorang abang menyambut adiknya yang tersayang. Demikian pula K.H. Siraj menghadapai Abuya laksana seorang adik menghadapai abang nya yang tercinta, sekalipun K.H Siraju jauh lebih tua usianya dari Abuya.

Demikian pula tidak luput dari perhatian saya pada saat temu ramah dan muzakarah tentang agama yang seharusnya diterapkan dalam PERTI terlihat dalam suasana ringan dan santai.
Tiadak lama kemudian berkunjung pula seorang Ulama terkenal dari Padang yaitu Abuya Labai Sati. Kunjungan Abuya Labai Sati ke Darussalam, Abuya sambut sebagaimana seroang murid yang disayanginya, dan abuya selalu menghormati nya dalam segala suasana.

Berselang beberapa tahun kemudian, Abusyik Keumala sempat juga berkunjung ke Darussalm untuk menemui Abuya dengan penuh khidmat dan dihormati Abuya sebagai guru besarnya. Selanjutnya Abusyik dalam sebuah pertemuan dengan Abuya menyodorkan Kitab Al Hikam yang memang sudah disediakan untuk dibaca Abuya sebagai mengambil berkat. Abuya membacakan kitab tersebut satu jumlah kalimat pada awalnya dan satu jumlah kalimat pada khatamnya dan Abuya berdoa.
Setelah Abusyik meninggalkan Darussalam, sampai dikampung Abusyik mengatakan kepada semua keluarganya yang berkumpul;
’’Waktu saya melihat Tgk. Syekh H. Muda WAly seakan akan saya melihat sebuah gedung yang penuh dengan berbagai macam macam intan mutiara didalamnya‘’ Demikian ucapan Abusyik Keumala terhadap Abuya.

SAYA MENGETAHUI TAPI TIDAK BERANI UNTUK BERTANYA
Pada setiap tahun selama saya di Darussalam, saya melihat waktu selesai shalat idul fitri dan khutbahnya daiadakan sebuah acara ketangkasan pencak silat yang dilakukan pasangan panglima panglima dan ditengah–tengah kumpulan massa penonton sudah disediakan meja dan sebuah kursi untuk Abuya dan dihadapan terletak sebuah Kitab. Tidak jauh dari dari Abuya saya duduk untuk memeperhatiakn sikap Abuya. Apabila suasana aksi pencak silat sudah memuncak dan makin seru serta perhatian penonton tertuju pada aksi pencak silat itu dan saya memusatkan perhatian terhadap Abuya, ternyata Abuya بنفسه شغل (bimbang dengan dirinya sendiri) dan bukan dengan aksi pencak silat itu.

MANDI ABUYA
Pada setiap pertengahan bulan Syawal Abuya turun mandi kesungai Krueng Baroe disekitar kampong Pante Gelima. sedangkan masyarakat tua muda, laki laki, dan perempuan sudah mengetahui ketentuan acara ini melalui informasi Tanya bertanya. Tepat waktu acara itu dilaksanakan pantai Krueng Baroe sudah penuh dengan masyarakat sejak dari jam 08.00 sampai Abuya masuk menghadiri acara tersebut. Sekitar jam 10.00 Abuya hadir ketempat acara. Abuya duduk atas kursi ditenda yang telah disediakan dan dihadapannya sudah terletak sebuah kitab diatas meja. Acara dimulai dengan permainan pencak silat sepanjang pantai dengan penuh meriah yang disaksikan ribuan masayrakat sekitar Labuahan Haji. Dan saya perhatikan Abuya sibuk membuka kitab dan membulak balik lembarannya. sedikitpun tidak tampak perhatiannya kepada keramaian masyarakat yang ada dihadapannya, tetapi Abuya بنفسه شغل, seterusnya acara makan dimulai dan mandi Abuya dilaksanakan, sekaligus masyrakat yang hadir ikut mandi bersama, dan berakhirlah acara ini sampai menjelang waktu azan Dhuhur.

CINCIN ABUYA
Pada jari manis tangan kanan Abuya terselip sebuah bentuk cincin suasa berbunga segi empat bujur. Cincin ini bukan saja saya yang melihatnya. akan tetapi saya yakin semua murid sudah pernah menyaksikannya. Pada suatu yang senggang saya ingin bertanya tentang hal cincin itu, tetapi tidak memungkinkan. Hal ini kecil pada hal luas pembasannya.

SAYA MENGETAHUI DAN BERANI SAYA BERTANYA
Pada tangan Abuya selalu kami melihat tersangkut buah tasbih yang tampaknya sebagai amal lazim baginya, sehingga tidak pernah ditinggal bahkan pada saat menghadap presiden kecuali pada waktu shalat, mengajar, waktu makan, waktu zikir khusus dan waktu mandi. Kami tidak pernah melihat Abuya memegang parang atau cangkul untuk membersihkan halaman rumahnya, dan tidak pernah memegang martil atau gergaji untuk memperbaiki dinding rumahnya. Kami kira Abuya tidak memegang benda lain karena ia takut tertinggal buah tasbihnya. Pada suatu saat yang senggang saya memberanikan diri untuk bertanya ;
’’Abuya …..apakah hikmah kita selalu memegang buah tasbih ..?’’.
Abuya menjawab dengan senyum manis
‘’Kalau kita memegang pena, teringat apa yang akan kita tuliskan, kalau kita memegang pedang, teringat apa yang akan kita pancungkan, dan kalau kita memegang buah tasbih, teringat zikir apa yang akan kita ucapkan".
saya menjawab’’ Alhamdulillah jelas Abuya ’’.

SAYA MENGETAHUI AKAN TETAPI KEPADA SIAPA SAYA BERTANYA
Sebagaimana saya mengetahui di pantai laut sebelah selatan batasan Darussalm tertimbun batu kerikil putih yang hampir sama ukurannya sejak Abuya mendirikan Darussalm dan dengan batu itulah paya (rawa) Darussalam ditimbun oleh ribuan murid selama bertahun tahun, karena komplek Darussalam itu 25% daratan dan 75% lainnya rawa-rawa. Komplek Darussalam sudah tertimbun rata dan Abuya pun wafat. Lalu batu batu di pantai laut pun hilang semua.
Pada tahun 1978 saya dan Tgk H.Sayyid Zain Badrun serta keluarga menziarahi Abuya ke Darussalam. Langsung kami datang kepinggir pantai dengan ta`ajjub (heran ) bercampur haru. Dahulunya pantai batu, kini berganti menjadi kuala. Sekarang kepada siapa saya bertanya …………………?
ألله أكبر لاحولا ولاقوة إلا بالله علي الغظيم ……….

KHATIMAH
Wazifah Abuya yang mulia ini saya orbitkan kehadapan saudara saudara sekalian, bukanlah keterangan catatan dari orang lian akan tetapi merupakan serangkaian catatan emas didalam kenangan saya sendiri yang InsyaAllah tak akan terlupakan untuk selama lamaya, memang jarak jauh waktu saya mu`asharah dengan masa kini saya di Medan sudah ± 40 tahun. namun dalam kenangan saya terasa baru kemarin terpisah dengan Abuya, perhatikanlah kalau kita ingin menyimpulkan seluruh kegiatan Abuya maka ternyata tersimpan kedalam 3 pokok perjuangan yaitu ;
1. Tuntut ilmu dan mengajar dengan segala macam sistemnya.
2. Amar ma`ruf nahi mungkar dengan segala macam tehniknya.
3. Ibadah, berzikir dan berdoa dengan segala macam qaedah dan kaifiatnya.
Semua Wazifah Abuya yang telah kita bicarakan merupakan wazifah wazifah lahiriyah sedangkan wazifah bathiniyah belum/tidak kita bicarakan, seperti: syaja`ah Abuya, sabarnya, tawakkalnya, tadharru`nya, zahidnya, ikhlasnya, idraknya, pahamnya, istiqamahnya, dan wazifah nafisah lainnya, karena wazifah ini hanya Allah ta`ala yang mengetahui dan menilainya
والشهادة هو الرحمن الرحيم عالم الغيب
Abuya sudah tiada ……………………..
dan Abuya sudah meninggalkan contoh kepada kita semua.
Mari kita ikuti jejak langkahnya menurut kemampuan dan kelayakan yang ada pada kita. Abuya sudah berangkat.
Tgk. Keumala berseru
Abuyaku ………Abuya kami ………….tunggulah kami.
kami menunggumu.
ألفاتحة الشريفة untuk Abuya …..
Medan 25 november 1997

TKG.H.SYIHABUDDIN SYAH(ABU KEULAMA)


Kelahiran nabi SAW
- Kelahiran sang Nabi
- Menampakkan kesucian diri
- Alangkah indah permulaannya
- Juga indahpenghabisannya
- Hari kelahiran baginda
- Saat ada firasat bangsa Persia
- Bahwa ada peringatan kepada mereka
- Datangnya bencana dan siksa
- Saat menjelang malam tiba
- istana hancur terbelah
- Sebagaimana kumpulan sahabat kisra
- Tiada menyatu terpecah belah
- Api sesembahan pada,
- Karena duka yang mencekam
- Sungai Eufrat tak mengalir muram
- Karena susah yang amat dalam
- Penduduk negri Sawah resah duka
- Saat danaunya kering keronta
- Pengambil air kembali dengan tangan hampa
- Kecewa ketika terjerat rasa dahaga
- Seakan akan pada api nan membara
- Terdapat cairan air karena duka
- Dan pada air nan sejuk segar
- terdapat api yang membakar
- Para jin menjelit suara
- Cahaya membumbung keangkasa
- Kebenaran tampak nyata
- Dari makna maupun kata
- Mereka buta dan tuli tak mendengar
- Hingga kabar gembira tak didengar
- Begitu juga kilatan peringatan
- Sama sekali tak terhiraukan
- Para dukun mereka
- Telah kabarkan berita
- Bahwa agama mereka
- Bengkok tak bertahan lam
- Setelah mereka menyaksikan
- Bintang bintang di ufuk berjatuhan
- Bersama di bumi ada kejadian
- Berhala- berhala runtuh bergelimpangan
- Hingga lenyap setan berlari
- Dari pintu langit jalan wahyu ilahi
- Mereka lari mengikuti
- Syetan nan berlari tak henti
- Seakan –akan setan yang berlari duka
- Laksana prajurit raja Abrahah
- Atau laksana kumpulan tentara
- Terlempari kerikil tangan Rasulullha
- Baru yang Nabi lemparkan
- Setelah bertasbih dalam genggaman
- Bak terlemparnya Nabi Yunus
- Dari perut ikan paus